Sunday, October 9, 2011

Jangan Takut Urbanisasi

Selepas Lebaran, arus-balik pemudik ke kota-kota besar, khususnya Jakarta, seringkali membawa pendatang baru dari desa. Bagi pengelola kota, fenomena ini menjadi momok karena berarti tambahan beban untuk pemenuhan pelayanan publik, sarana-prasarana serta perumahan. Operasi Yustisi—yang ironisnya tidak mencerminkan kata “justice”—pun digelar untuk mencegah pendatang baru serta memulangkan mereka yang dianggap tidak memenuhi syarat-syarat untuk tinggal di kota. Hal ini terjadi karena urbanisasi masih dilihat sebagai sekedar variabel demografis dalam kebijakan publik, khususnya sebagai faktor negatif yang harus dihindari atau dikurangi.

Padahal, urbanisasi—dalam arti bertambahnya penduduk perkotaan akibat migrasi maupun alih fungsi lahan—merupakan fenomena yang tak dapat dihindari seiring dengan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Bahkan, pengalaman di Cina, dengan segala kelemahan dan kekhususannya, mengajarkan bahwa urbanisasi bisa dijadikan basis pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Peran strategi urbanisasi ini jarang terungkap ketika orang terpana melihat pembangunan ekonomi Cina yang spektukular dan berhasil mengentaskan ratusan juta warga miskin dalam tempo 30 tahun.

Pengalaman Cina
Syahdan, pada tahun 1978 Deng Xiaoping berkehendak membuka Cina kepada ekonomi dunia. Namun, pemimpin Cina itu menemukan warisan kegagalan Revolusi Kebudayaan dalam bentuk kemiskinan yang sangat massif baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan. Boleh dikatakan pada waktu itu 80% penduduk Cina termasuk miskin dan sisanya pun tidak kaya.

Deng juga melihat struktur perkotaan yang terlalu didominasi oleh dua kota besar, Beijing dan Shanghai, yang waktu itu sangat pengap dan penuh polusi. Ketika itu, 85% air untuk keperluan Beijing diambil dari sumur-sumur tanah yang mengakibatkan beberapa tempat di ibukota negara ini ambles karena tanah yang makin berpori.

Keputusan pemimpin Cina waktu itu sangat taktis walaupun tidak mudah dari kacamata keadilan. Untuk mengurangi dominasi ekonomi dua kota besar tersebut, pemerintah tidak menyebarkan sumberdaya pembangunan yang waktu itu masih sangat terbatas ke seluruh wilayah negeri yang sangat luas itu. Pun tidak ada niat untuk memindahkan ibukota negeri sekedar untuk mengatasi masalah internal di kota Beijing. Mereka memilih mengkonsentrasikannya pembangunan infrastruktur di segelintir lokasi yang dipilih menjadi kawasan ekonomi khusus.

Pada awalnya hanya 4 atau 5 kawasan yang mendapat perhatian all-out termasuk menciptakan amenities kota sehingga terlihat nyaman. Lahirlah Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Dan ternyata hal ini—dikombinasikan dengan tenaga kerja yang waktu itu masih murah serta pasar Cina yang terus membesar—menjadi sangat menarik bagi investor dunia.

Ketika dana mulai masuk, pemerintah Cina mulai membangun konsentrasi-konsentrasi perkotaan baru lainnya secara bertahap tapi pasti. Urbanisasi pun ‘diatur’ ke arah pusat-pusat pertumbuhan baru tersebut. Setelah generasi pertama di atas, muncul generasi kedua yang terdiri atas 14 pusat pertumbuhan baru. Selanjutnya pertumbuhan diarahkan terwujudnya koridor-perkotaan seperti di Pearl River Delta, Yangtze River Delta dan Xiamen-Zhangzhou-Quanzhou Triangle. Belakangan, kawasan hinterland di belahan Barat negeri mulai mendapat perhatian, antara lain dengan membangun jaringan kereta api yang menghubungkannya dengan kawasan Pantai Timur.

Baru di awal tahun 1990-an pemerintah Cina lebih serius mendorong kawasan Pudong di seberang Shanghai menjadi pusat bisnis utama. Demikian pula, perhatian kembali kepada Beijing pun baru terlihat menjelang Asian Games 1990 dan kemudian lebih besar-besaran menjelang Olimpiade 2008. Beijing tetap menjadi pusat politik dan budaya, sementara Shanghai dan kota-kota metropolitan baru tersebut menjadi pusat-pusat niaga yang kuat.

Cerita selanjutnya adalah apa kita lihat saat ini di mana Cina berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama kurun waktu yang panjang sekaligus mengentaskan ratusan juta warganya dari kemiskinan. Seorang pejabat PBB bahkan pernah berkata bahwa target pengurangan kemiskinan global dalam Millennium Development Goals (MDGs) mungkin akan tercapai di tahun 2015 “thanks to what has been happening in China.”

Tentu banyak pula hal negatif dari urbanisasi di Cina seperti polusi yang mewarnai kota-kota besar walau sudah mulai diatasi dengan penghijauan, melebarnya kesenjangan kaya-miskin dan kota-desa serta terbatasinya hak-hak warga untuk memilih tempat tinggal. Pun terdapat kekhasan konteks politis-administratif di Cina yang membuatnya tidak bisa begitu saja diterapkan di Indonesia. Namun hal-hal tersebut tidak dapat menegasi pelajaran bahwa kebijakan dan strategi urbanisasi yang jelas dan konsisten dapat sangat bermanfaat.

Salah satu yang menjadi argumen penjelas mengapa urbanisasi sering—walau tidak selalu—sejajar dengan pertumbuhan ekonomi serta pengentasan kemiskinan adalah kenyataan bahwa pertambahan nilai dari sektor-sektor ekonomi perkotaan per-kapita umumnya jauh lebih besar dari yang dihasilkan oleh sektor-sektor perdesaan. Afrika memberi contoh yang berlawanan, yaitu urbanisasai yang tidak disertai dengan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Hal ini karena tidak ada tata-kelola urbanisasi sama sekali.

Lima Komponen
Belajar dari pengalaman di atas, serta fenomena urbanisasi di berbagai negara lain, maka jika konsep urban-led development ini hendak diterapkan di Indonesia, strategi ini harus mengandung lima komponen utama.

Walaupun strategi ini bertajuk urban-led development, komponen pertamanya mensyaratkan pemenuhan kebutuhan dasar di kawasan perdesaan serta kawasan non-perkotaan lainnya. Ini tidak hanya menyangkut pelayanan publik tetapi juga peluang peningkatan kesejahteraan warga desa yang seluas-luasnya seperti akses kepada pinjaman murah, pelatihan tepat-guna, kepemilikan atas lahan pertanian dengan luasan yang optimal, penyuluhan tata-cara produksi, pengemasan dan pemasaran termasuk penguatan posisi-tawar masyarakat perdesaan. Dengan demikian push-factor dalam migrasi desa-kota bisa ditekan sekecil mungkin.

Namun, bagaimanapun akan selalu ada iming-iming atau peluang nyata yang lebih besar untuk maju jika penduduk pindah ke kawasan perkotaan. Untuk ini, komponen kedua strategi urban-led development adalah mewajibkan pemerintah pusat dan propinsi untuk menyediakan pelatihan ketrampilan maupun pendidikan dan ‘pembekalan’ lainnya sehingga para migran yang datang ke kota lebih siap untuk ‘bertarung’ di belantara ekonomi-sosial perkotaan.

Komponen ketiga dari strategi ini adalah kesiapan dan keterbukaan pemerintah kota untuk menampung dan memfasilitasi pendatang baru. Mereka tidak boleh dianaktirikan atau diabaikan sehingga harus tinggal di gubuk-gubuk liar padahal jasa mereka yang murah dimanfaatkan oleh industri maupun rumah-tangga perkotaan. Cara Pemerintah Kota Solo menangani pedagang kaki-lima dan Pemerintah Kota Pekalongan menangani perumahan memberikan pelajaran bahwa hal seperti ini bisa dilakukan.

Namun pemerintah kota tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian karena urbanisasi bukan persoalan setempat saja. Komponen keempat mensyaratkan pemerintah pusat dan propinsi harus memberikan insentif fiskal bagi pemerintah kota yang dapat memfasilitasi pendatang baru dengan baik. Insentif fiskal juga bisa diberikan kepada pemerintah kabupaten yang berkinerja dalam pemenuhan komponen pertama di atas.

Komponen kelima juga merupakan otoritas pemerintah pusat, yaitu penyebaran pusat-pusat pertumbuhan sehingga terbentuk apa yang disebut decentralized concentrations atau konsentrasi-konsentrasi yang tersebar. Tidak disebar secara ‘tipis-merata’ tetapi dipusatkan di segelintir titik-titik pertumbuhan yang akan terus bertambah seiring waktu.

Persebaran Pusat Pertumbuhan
Saat ini ekonomi negara kita sangat didominasi oleh kawasan Jabodetabek. Dan ini tidak sehat serta menghambat pertumbuhan ekonomi selanjutnya karena sudah terjadi kejenuhan infrastruktur di kawasan ini yang mengurangi daya-tarik ekonominya. Pun, berdasarkan penelitian Dr. Budi Resosudarmo dari Australian National University, ternyata Jakarta ternyata hanya mampu mendorong perekonomian di Jawa Barat dan Banten saja. Padahal kita semua tahu Jakarta menyedot sumberdaya dari berbagai pelosok Nusantara. Inilah sumber membesarnya ketimpangan yang selama ini terjadi.

Karena itu harus ada upaya yang serius dan all out untuk menyebarkan pusat-pusat konsentrasi ini keluar Jabodetabek. Namun perlu dicermati, bahwa usulan penyebaran gula-gula urbanisasi ini bukan seperti yang selama ini kita lakukan yaitu dengan membagi berbagai investasi pembangunan infrastruktur niaga ke sekian banyak titik di seantero wilayah. Jika kita membagi sumberdaya yang memang sudah terbatas secara tipis ke banyak lokasi, maka yang terjadi adalah kawasan-kawasan ekonomi yang sama sekali tidak memiliki daya saing internasional maupun terhadap Jakarta. Apalagi kalau harus bersaing dengan kawasan ekonomi sekelas Pearl River Delta tersebut di atas.

Maka yang harus kita lakukan adalah mengkonsentrasikan penyebaran gula-gula urbanisasi tadi ke segelintir lokasi. Pusatkan investasi pembangunan infrastruktur niaga ke segelintir lokasi tersebut sehingga dapat menimbulkan daya tarik yang sangat kuat bagi investasi asing. Lambat laun jumlah pusat-pusat pertumbuhan ini bisa ditambah dengan lebih menekankan pada kota-kota di luar Pulau Jawa namun yang memiliki basis penduduk hinterland yang memadai.

Secara kasar, diperkirakan saat ini kita hanya mampu mendorong secara all-out sekitar 3 – 5 pusat perkotaan yang bukan hanya “gula-gula urbanisasi” di dalam negeri tetapi sekaligus juga menjadi kota yang berdaya-saing internasional. Surabaya, Medan, Balikpapan dan Makassar mungkin dapat dipertimbangkan. Pemilihannya bisa dengan menggunakan cara lelang atau kompetisi antar kota dari segi tata-kelola. Bisa pula diselaraskan dengan konsep enam koridor ekonomi, pusat-pusat pertumbuhan tersebut harus memiliki koneksi langsung ke ekonomi global, tanpa harus melalui Jakarta.

Apakah memindahkan ibukota negara, yang sempat hangat dibicarakan, selaras dengan strategi “decentralizing concentrations” ini? Hal ini bisa menjadi satu topik tersendiri karena jawabannya bisa “Ya” dan bisa “Tidak.” Namun, secara prinsip, ketika sumberdaya finansial yang kita miliki masih sangat terbatas, strategi ini tidak menyarankan investasi besar-besaran ke suatu lokasi yang tidak akan banyak mengundang investasi niaga dari luar. Apalagi jika investasi itu lebih untuk membangun bangunan-bangunan simbolik-politis yang cenderung mahal tetapi kecil dampak ekonominya.

Ekuilibrium Urbanisasi
Pertanyaan berikutnya, urbanisasi sampai kapan? Equilibrium atau keseimbangan urbanisasi akan terjadi ketika peluang peningkatan kesejahteraan di perdesaan sudah relatif sebanding dengan peluang peningkatan kesejahteraan di perkotaan. Hal ini tidak dapat tercapai ketika kepadatan penduduk di perdesaan masih sangat tinggi, karena dengan demikian produktifitas per kapita warga di perdesaan menjadi rendah, sehingga warga desa terjebak dalam kemiskinan.

Memang, sampai terdekatinya equilibrium, kesenjangan kesejahteraan desa-kota akan melebar. Namun ketika peluang peningkatan kesejahteraan di perdesaan sudah mulai membaik karena tekanan penduduk sudah berkurang, maka kesenjangan itu akan berkurang walau tidak akan bisa hilang. Lihat saja bagaimana negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia maupun negera-negara di Eropa banyak yang masih mengandalkan sektor pertanian walau tingkat urbanisasinya sudah tinggi (sekitar 80% - 90%). Di negara-negara tersebut, arus migrasi desa-kota sudah sangat insignifikan karena warga perdesaan pun sejahtera.

Penutup
Dengan tingkat urbanisasi yang 50% saat ini, Indonesia masih akan terus mengalami proses urbanisasi, baik dalam bentuk migrasi desa-kota maupun proses-proses menjadi kota lainnya. Urbanisasi tidak hanya tak terelakkan dalam ekonomi global yang semakin kompetitif, tetapi justru memberi basis pijakan bagi pembangunan. Upaya menghambat migrasi bukan hanya bersifat kontra produktif dan melanggengkan kemiskinan, tetapi juga menghilangkan peluang warga untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Karena itu, jangan takut urbanisasi. Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan dan memanfaatkan fenomena global ini untuk pembangunan manusia maupun untuk keberlanjutan bumi tempat kita tinggal.

2 comments:

Anggriani said...

Artikel yang sangat ramah-pembaca mengenai urbanisasi, terima kasih Pak Wicak :). Hemat saya, tantangan kultural dari ini adalah peletakan kota-kota besar dengan segala komponennya sebagai 'moral of city life' (terlihat bagaimana Jakarta kerap menjadi acuan model pembangunan kota seperti hal-nya di Makassar). Salah kaprah dan sayang sekali.

Saya rasa konsep abstrak seperti urbanisasi ini akan lebih mudah ditranslasikan ke dalam bentuk kebijakan kota apabila pemerintah dan warganya sudah memiliki kesiapan. Menjadi sebuah kota, berarti menjadi sebuah entitas sosio-eko-spasial yang memiliki aksesibilitas tinggi. Aksesibilitas adalah modal, dan pemilik modal (pemerintah dan warga) perlu tahu modalnya akan digunakan untuk apa. Kesiapan ini menurut saya juga erat relasinya dengan cara pandang dalam melihat kota. Apakah sebagai rumah, atau lahan. Just my two cents!

Wicaksono Sarosa said...

Thanks Anggie for taking your time to visit and comment. I really appreciate it. All of the comments give me "amunition" to update the blog more regularly....hopefully