Thursday, September 6, 2007

Aksi Lokal yang Mengampu Kesepakatan Global

(Also published on Koran Seputar Indonesia, 26 Agustus 2007)

Semakin gencar gaung Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) ke daerah-daerah, semakin sering pula pertanyaan ini muncul: ”MDGs itu kepentingan siapa?” Masih banyak yang berpendapat bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang hendak ”dipaksakan” untuk dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini terungkap ketika penulis terlibat dalam loka-latih penerapan Kartu Penilaian Warga (Citizen Report Card) untuk Pencapaian MDGs di Kota Sukabumi beberapa bulan yang lalu dan di Bali beberapa hari yang lalu.

Di Kota Sukabumi—yang notabene pemerintahnya pernah menyelenggarakan kampanye ”Standup Against Poverty”—seorang peserta loka-latih tersebut mengaku bahwa pada awalnya dia memiliki praduga demikian. Namun setelah mengikuti proses pengisian Kartu Penilaian yang bersifat partisipatif, yang bersangkutan akhirnya menyadari bahwa pokok-pokok persoalan yang ada dalam MDGs sebenarnya adalah persoalan sehari-hari dihadapi oleh daerah dan bahkan oleh komunitas dan sebagian individu. Setidaknya ada satu peserta lain yang kemudian juga mengaku mengalami perubahan pemahaman yang sama tentang MDGs setelah mengikuti acara loka-latih tersebut. Kemudian, ketika cerita ini penulis sampaikan dalam suatu loka-latih sejenis di Denpasar (untuk Propinsi Bali) baru-baru ini, beberapa peserta memperlihatkan gesture yang menunjukkan mereka juga memiliki praduga yang sama. Sementara sebagian peserta lain bahkan belum pernah mendengar apa itu MDGs.

Memang praduga bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang di-”imposed” kepada daerah sangat wajar muncul mengingat MDGs memang merupakan hasil dari pertemuan para pemimpin dunia menjelang Abad ke-21 atau sering juga disebut Abad Milenium. Dengan melihat masih banyaknya penduduk di muka bumi ini yang hidup di tengah kemiskinan, tidak menikmati pendidikan dan layanan kesehatan serta tinggal di lingkungan yang tidak layak huni, para pemimpin tersebut merasa bahwa upaya-upaya meningkatkan kualitas pembangunan yang telah dilakukan hingga tahun 2000 masih kurang efektif.

Oleh karenanya dicetuskan pendekatan pembangunan yang tidak didominasi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi lebih menekankan pada pembangunan manusia. Agar efektif, pendekatan pembangunan ini kemudian disertai dengan target-target yang jelas, terukur dan terikat waktu (time-bound).

Para pemimpin dunia tersebut selanjutnya menetapkan delapan tujuan utama (goals) yang diuraikan ke dalam 18 target terinci mencakup aspek kemiskinan, pendidikan, gender, kesehatan (termasuk HIV/AIDS yang semakin merebak), keberlanjutan lingkungan serta perbaikan lingkungan permukiman manusia, ditambah dengan komitmen untuk membangun kemitraan (antar-negara maupun antara pemerintah-swasta-warga) agar sumberdaya yang memang tidak tersebar secara merata di muka bumi ini dapat digunakan sebaik-baiknya untuk memastikan tujuan-tujuan mulia tersebut bisa tercapai. Dengan demikian, secara umum diharapkan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrim tidak harus menunggu lebih lama lagi, tetapi dapat terjadi pada generasi sekarang ini.

Namun demikian, komitmen global tersebut tidak akan pernah bisa terwujud jika tidak ada kebijakan dan tindakan yang selaras di tingkat daerah dan komunitas (lokal). Hal ini semakin terasa dengan berlangsungnya gelombang desentralisasi, yang terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan bumi yang lain. Walaupun desentralisasi memiliki tujuan mulia untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan publik kepada warga dan pemangku-kepentingan lainnya, namun dalam kenyataannya fase desentralisasi dan demokrasi yang masih sangat ranum ini banyak ”dibajak” oleh elit lokal untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Jika hal ini dibiarkan, maka MDGs tidak akan tercapai.

Untunglah terdapat daerah-daerah yang secara sungguh-sungguh—tidak hanya dalam kata-kata yang tertuang di dalam rencana pembangunan daerah—telah menjalankan berbagai kebijakan dan tindakan nyata yang ditujukan untuk menghapuskan kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan serta memperbaiki lingkungan alam maupun lingkungan hunian manusia. Hal tersebut selaras dengan Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium walaupun sebagian dari inisiatif positif tersebut tidak secara formal dikaitkan dengan MDGs.

Tindakan-tindakan tersebut umumnya merupakan inisiatif lokal walaupun sebagian ada yang kemudian mendapat dukungan dari pemerintah pusat maupun lembaga internasional.
Untuk menyebutkan sebagian saja inisiatif-inisiatif lokal yang positif tersebut, di bidang pengentasan kemiskinan dapat di lihat pada apa yang sudah dijalankan di Kota Balikpapan, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Deli Serdang, Kota Blitar dan lain-lain. Kota Balikpapan, misalnya, telah menerapkan sebuah filosofi pembangunan ”Sembilan Menggendong Satu” yang artinya adalah tanggung-jawab bersama sembilan puluh persen warga yang termasuk tidak miskin untuk membantu mengentaskan sekitar sepuluh persen penduduk yang masuk dalam kategori miskin. Hal ini kemudian dicerminkan secara konsisten ke dalam penganggaran serta berbagai program-program lain (termasuk beasiswa dan layanan kesehatan gratis bagi kaum miskin).

Di Jembrana, kabupaten yang sebenarnya paling miskin di Propinsi Bali, pemerintah daerah berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran—termasuk secara drastis menggabungkan beberapa sekolah yang utilisasinya rendah—sehingga terdapat ruang anggaran untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nelayan setempat. Dukungan secara khusus kepada komunitas nelayan juga dilakukan di Kabupaten Deli Serdang dan beberapa daerah lain yang memiliki jumlah nelayan secara signifikan. Nelayan seringkali merepresentasi penduduk yang hidup dalam kemiskinan walau telah bekerja sangat keras.

Di bidang pendidikan, contoh inisiatif lokal yang mendukung MDGs dapat dilihat di Kota Tarakan, di mana perhatian pemerintah kota terhadap perbaikan kualitas pendidikan dan sarana pendidikan sangat serius. Kalau di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur yang kaya raya kita bisa melihat kantor pemerintah daerah yang sangat megah, hal ini tidak terlihat di Tarakan. Sebaliknya, kualitas dan kuantitas fasilitas pendidikan serta berbagai fasilitas komunitas dan generasi muda (seperti gelangggang olah raga) mengalami peningkatan yang sangat signifikan di era otonomi daerah. Pun perhatian tidak terbatas pada kualitas fisik. Aspek non-fisik—seperti gaji, pendidikan guru dan lain-lain—mendapat perhatian yang serius. Memang, Tarakan bukanlah satu-satunya daerah yang serius memperhatikan kualitas pendidikan di daerah. Namun, kota pulau ini bisa dijadikan contoh bahwa bila ada kemauan tentu ada jalan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di daerah—bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi.

Di bidang kesehatan, contoh bisa dilihat di Kota Sukabumi, yang telah secara serius mencoba mengatasi persebaran HIV/AIDs serta berbagai penyakit lainnya melalui berbagai program yang ada. Yang menarik dari Kota Sukabumi adalah penekanan yang sudah dilakukan terhadap pembangunan manusia dengan meletakkan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai ujung tobak sasaran pembangunan daerah.

Di satu sisi contoh-contoh di atas memberikan suatu optimisme bahwa jika banyak daerah menjalankan kebijakan dan tindak-nyata yang selaras dengan MDGs—dengan atau tanpa mengkaitkan secara formal dengan MDGs—maka MDGs bisa tercapai. Namun di sisi lain harus disadari bahwa perjalanan masih sangat panjang ke sebuah kondisi di mana daerah dapat mengampu (membuat mampu) keterwujudan komitmen di tingkat nasional atau internasional seperti MDGs ini.

Inisiatif-inisiatif lokal positif yang dicontohkan di atas masih terlalu sedikit untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 350 kabupaten dan kota. Sebagian besar pun masih kesulitan jika menyangkut investasi infrastruktur yang sangat besar. Di sini dukungan dari kemitraan internasional (Tujuan 8) masih sangat ditunggu dan belum berjalan dengan baik. Yang terjadi kemudian, inisiatif-inisiatif tersebut tersebut masih tergantung kepada pemimpin daerah yang berani melakukan terobosan-terobosan positif di tengah kebekuan atau kegamangan birokrasi dalam menghadap perubahan jaman yang begitu cepat. Akibatnya, jika pemimpin kuat dan inovatif tersebut suatu saat harus mundur sebagai bagian dari proses demokrasi, inisiatif-inisiatif positif tersebut masih diragukan keberlanjutannya. Padahal, sebagian besar inisiatif tersebut masih dalam tahap embrionik, sehingga memerlukan kontinuitas selama beberapa tahun mendatang untuk menjadi sebuah kegiatan yang sistemik.