Saturday, February 14, 2009

Kota yang Berkeadilan

[Telah dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia, 1 Oktober 2007]

Tema Hari Habitat—yang selalu dilaksanakan di seluruh dunia setiap hari Senin pertama bulan Oktober—tahun 1997 adalah “A safe city is a just city”. Dengan ini, Perserikatan Bangsa Bangsa hendak mengingatkan bahwa kota yang aman berarti juga kota yang berkeadilan karena memungkinkan siapa saja—wanita, anak-anak, minoritas, difabel, kaya maupun miskin—untuk beraktivitas di kota tanpa harus merasa takut atau was-was akan terjadi hal-hal yang mengganggu rasa aman mereka. Di sini penekanannya memang lebih kepada penciptaan kota yang aman.

Namun, kita bisa juga memaknainya secara terbalik: “A just city is a safe city,” dengan penekanan pada upaya penciptaan kota yang berkeadilan. Kota yang berkeadilan adalah kota yang dapat memberi peluang kurang lebih sama bagi siapa saja untuk tinggal dan bekerja di kota tersebut. Dan karena di era yang serba kapitalistik ini mereka yang berpenghasilan menengah ke atas selalu dapat menawar lokasi yang terbaik, maka persoalannya dapat dipersempit menjadi bagaimana memberi akses ruang kota bagi kaum miskin.

Dilema yang Ada
Menyediakan ruang kota bagi kaum miskin bukan persoalan gampang karena dengan semakin padatnya kota-kota kita, maka semakin mahal pula harga lahan di dalam kota. Jika hanya mekanisme pasar yang bekerja, maka niscaya kaum miskin akan tersingkir jauh ke kawasan pinggiran yang masih murah. Ini pun semakin tidak mudah didapat. Atau mereka terpaksa harus menyusup ke ruang-ruang sempit seadanya di dalam kota, termasuk tinggal di kolong-kolong jalan tol. Ketika urusan sesuap nasi untuk esok hari saja masih belum jelas, legalitas dan keselamatan sendiri maupun orang lain menjadi urusan entah nomor berapa.

Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk “melengkapi” mekanisme pasar yang ada. Penulis sebut “melengkapi” karena memang sebaiknya pemerintah—selain sebagai regulator untuk memastikan berjalannya sistem pasar yang adil—hanya berperan langsung di bidang-bidang di mana pasar tidak bisa berfungsi sama sekali (terjadi market failures).

Jika pasar sudah bekerja dengan baik dalam menyediakan ruang kota bagi kaum menengah ke atas, biarlah jangan diintervensi dengan segala macam aturan yang memberatkan. Namun biasanya pasar (formal) gagal melayani kebutuhan akan ruang kota untuk tinggal dan berusaha bagi kaum miskin, khususnya yang berada di sekitar dan di bawah garis kemiskinan. Walaupun 60% penduduk miskin saat ini masih tinggal di perdesaan, jumlah absolut kaum miskin di perkotaan diperkirakan akan meningkat seiring dengan pesatnya arus urbanisasi.

Dan kalau upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan ruang kota bagi kaum miskin ini tidak efektif, maka alternatifnya adalah berkembangnya pasar informal ruang kota: proses produksi dan jual beli ruang tinggal serta ruang untuk mencari nafkah secara tidak teregulasi bahkan terkadang melanggar regulasi atau ilegal (dengan derajat ilegalitas yang berbeda-beda) karena memang ada kebutuhan ruang kota yang gagal dipenuhi oleh pasar formal.

Setidaknya ada dua fenomena saling kait-mengkait yang perlu dicermati pada dinamika pasar formal-informal ruang kota, khususnya jika pemerintah memilih berpangku tangan atau melakukan tindakan yang kurang tepat. Pertama cepat atau lambat kekuatan finansial pasar formal akan terus-menerus mendesak pasar informal ke lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan. Kedua, pada saat yang sama pasar informal tidak akan menyusut begitu saja jika memang tidak ada perbaikan yang signifikan pada penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah, karena sejatinya pasar informal merupakan cermin dari struktur sosial-ekonomi masyarakat secara umum. Akibatnya akan terjadi ketegangan (tensions) sosial yang berkelanjutan.

Di luar aspek legal-formal, sebenarnya pasar informal dalam produksi ruang tinggal dan ruang untuk mencari nafkah (kaki lima, ojek, dan lain-lain) di kota adalah syah saja karena toh “diterima” oleh masyarakat luas (kecuali kalau sudah masuk ke ranah kriminal). Bahkan selain memberikan ruang bagi kaum miskin untuk menjalani kehidupannya di kota, pasar informal ini juga sebenarnya “mensubsidi” korporasi-korporasi formal yang menggaji karyawannya sedemikian “rendah” sehingga tidak memungkinkan untuk setiap siang hari makan di restoran formal atau membayar biaya transportasi yang mahal.

Namun sektor informal perkotaan pun memiliki sisi negatif. Antara lain, sektor ini tidak memberi jaminan kepastian status hukum, rentan terhadap bahaya yang bisa merugikan sendiri atau orang lain, menguasai ruang-ruang publik yang sebenarnya punya fungsi lain serta rentan terhadap pemerasan. Hal yang terakhir ini menurut hemat penulis adalah yang paling serius tetapi jarang dipertimbangkan baik oleh pemerintah kota yang ingin membatasi ruang gerak ekonomi informal perkotaan maupun oleh para aktivis pembela hak-hak kaum miskin untuk tinggal di kota.

Jumlah dan alur uang hasil pemerasan di sektor informal perkotaan ini sulit diketahui tetapi diperkirakan sangat besar. Jika di Jakarta terdapat 200,000 PKL (sebuah estimasi konservatif) yang setiap harinya masing-masing membayar berbagai “setoran” senilai Rp. 5000.- (juga sebuah angka yang konservatif karena di beberapa tempat strategis bisa lebih dari Rp. 15,000.- ke beberapa “penagih”), maka apa yang disebut oleh ILO (International Labour Organization) sebagai parallel structure ini bisa mencapai satu miliar rupiah per hari dan kurang lebih 25 miliar rupiah per bulan (300 miliar rupiah per tahun!). Ini hanya dari salah satu sektor perdagangan informal (PKL) saja. Masih banyak aktivitas kehidupan informal yang lain yang juga rentan pemerasan.

Fenomena disebut parallel structure karena alur arus uang dari bawah ke atas ini sejajar dengan alur arus uang formal yang berupa pajak-pajak. Bedanya, parallel structure ini tidak transparan, tidak akuntabel dan bahkan entah masuk ke mana. Jika parallel structure menjadi lebih besar daripada uang legal yang mengalir ke kas negara, maka otoritas negara/pemerintah menjadi lemah vis-a-vis kekuatan uang gelap. Ini merupakan salah satu ciri ’negara gagal.’

Lantas bagaimana?
Oleh karena itu pemerintah harus secara strategis mengupayakan peluang bagi kaum miskin untuk dapat hidup secara lebih layak di dalam kota. Kementerian Negara Perumahan Rakyat memang sedang giat mewujudkan pembangunan rumah susun 1000 menara di kota-kota besar di Indonesia. Namun, meski subsidi akan membantu kaum miskin untuk masuk ke dalam rusun tersebut, kemampuan kaum miskin untuk membiayai perawatan dan operasionalnya masih diragukan. Apakah harus disubsidi terus menerus (menjadi semacam perumahan sosial)? Ataukah ada cara lain yang dapat meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi mereka sehingga suatu saat mampu memeliharanya sendiri.

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya perbaikan kampung-kampung kota. Adalah sedikit ironis melihat kenyataan bahwa program Baan Mankong di Thailand, yang dulu belajar dari program Kampung Improvement Program di Jakarta sekarang justru menjadi kiblat bagi kita untuk belajar bagaimana memperbaiki kehidupan mereka-mereka yang tinggal diperkampungan kumuh kota. Pun harus didukung upaya multi-pihak untuk mewujudkan apa yang disebut Housing Resource Center atau Baledaya Perumahan yang ditujukan untuk membantu pembangunan perumahan secara swadaya tapi tertata dengan baik.

Persoalan pengadaan lahan memang yang paling rumit dan bisa menjadi kendala bagi berbagai program pemerintah yang ada. Apalagi pemerintah terlanjur tidak mempersiapkan secara khusus bank-lahan (land bank) sebelum harga lahan menjadi mahal. Namun sebenarnya masih cukup banyak lahan-lahan milik negara yang bisa dimanfaatkan bagi tempat tinggal kaum miskin secara intensif, terencana dan tertata. Spekulasi lahan bisa dimitigasi dengan menerapkan disinsentif fiskal atau pajak progresif bagi mereka yang menyimpan lahan hanya untuk dijual kembali tanpa melakukan perbaikan apa-apa.

Akhir kata, hanya dengan memberikan peluang bagi semua pihak untuk dapat tinggal di dekat sumber-sumber nafkahlah kota yang berkeadilan dapat diwujudkan. Harapannya, jika warga dari berbagai latar-belakang sosial-ekonomi bisa hidup berdampingan secara rukun (tanpa ‘ketegangan’ atau kesalingcurigaan) maka kota akan menjadi lebih aman, manusia menjadi lebih produktif, bangsa menjadi lebih maju. Moga-moga.

Tiga Aras Permasalahan dalam Produksi Ruang Kota

[Telah dipublikasikan di Kiprah, Volume 19/VI, Januari - Februari 2007]

Menuju Bangsa Urban
Banjir yang masih selalu melanda kota-kota besar kita menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya sadar bahwa kita sebentar lagi akan menjadi sebuah “bangsa urban” (urbanized nation) di mana penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan lebih banyak daripada penduduk yang tinggal di kawasan perdesaan. Walaupun proses urbanisasi berlangsung secara gradual dan telah berlangsung lama, menjadi bangsa urban akan membawa konsekuensi sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik yang tidak kecil. Dan kita harus siap untuk menjalani kehidupan kota yang tidak sekedar dari sisi gaya dan hura-hura!

Dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di kota, maka kebutuhan akan ruang kota juga semakin meningkat. Satu hal yang harus diperhatikan secara serius dalam hal ini adalah bagaimana ruang kota tersebut ‘diproduksi’ atau diadakan dan apa dampak sosial-ekonomi dari proses-proses tersebut. Pendekatan yang tepat dalam proses atau modus produksi (modes of production) ruang kota dapat dianggap sebagai bagian dari upaya pembangunan kota yang berkelanjutan. Dan di era global yang semakin kompetitif ini, peran kota dalam pembangunan nasional sangat penting. Negara dengan kota-kota yang berfungsi secara baik akan lebih mudah menarik investor berkualitas serta memberi kesempatan yang lebih baik bagi warganya untuk meningkatkan kesejahteraannya, sebuah kondisi yang pada gilirannya akan mendorong pembangunan ekonomi lokal maupun nasional secara berkelanjutan.

Modus Produksi Ruang Kota
Dalam bukunya “[Menyiasati] Kota Tanpa Warga” (2006), Jo Santoso memperkirakan Indonesia membutuhkan rata-rata 50.000 hektar ruang kota per tahun selama kurun 2000-2010 untuk menampung pertambahan penduduk urban sekitar 3,0 – 3,5 juta per tahun. Kita mungkin bisa memperdebatkan angka ini maupun asumsi-asumsi di belakangnya, namun bagaimanapun memang setiap tahun dibutuhkan ruang kota baru yang sangat besar untuk menampung penghuni kota yang baru—baik yang datang dari kawasan perdesaan maupun yang memang dilahirkan di kota (akibat pertumbuhan natural).

Untuk menampung pertambahan penduduk urban baru yang sangat banyak tersebut, setidaknya terdapat tiga jenis respon perubahan ruang kota: (i) pertumbuhan horisontal, yaitu ekspansi ke kawasan yang tadinya perdesaan, (ii) pertumbuhan vertikal, yaitu ekspansi ke atas dengan pembangunan vertikal, (iii) proses pemadatan (densifikasi atau subdivisi) bagian-bagian kota yang sudah ada. Pertumbuhannya pun bisa bersifat formal (di atas lahan legal, terencana, sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan yang ada) namun bisa pula bersifat informal (penguasaan lahan tanpa legalitas, tidak terencana serta tidak sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan terkait lainnya).

Pengamatan lebih lanjut terhadap modus pembentukan ruang kota menunjukkan pengaruh yang sangat kuat dari liberalisasi tata-kelola pemerintahan yang berlangsung secara global. Dengan berdiri kokohnya paradigma ekonomi kapitalisme dan “saudara kembarnya” filosofi sosio-politik liberal di mana pemerintah diharapkan untuk tidak terlalu banyak campur tangan, hanya bertindak sebagai “regulator” (bukan lagi “fasilitator”, apalagi “provider”) namun dilaksanakan di tengah-tengah iklim penegakkan hukum yang lemah serta tata-kelola yang memberi peluang praktek-praktek kolutif dan koruptif, maka modus pembentukan ruang-ruang kota pun dipengaruhi oleh paradigma ini.

Kombinasi dari pengamatan-pengamatan di atas, maka ruang kota kita umumnya terbentuk melalui proses-proses: (i) perubahan guna lahan dari fungsi non-perkotaan ke fungsi perkotaan atau perubahan kepadatan guna lahan perkotaan yang ada (melalui densifikasi atau subdivisi) secara individual tapi memiliki kadar legalitas ‘memadai,’ walaupun mungkin saja tidak sesuai dengan tata ruang makro ataupun mikro yang ada (dan yang tidak di-enforced), yang kemudian terakumulasi membentuk suatu kawasan yang tidak terencana tapi relatif legal; (ii) perubahan yang sama tetapi dilakukan secara ‘block’ oleh pengembang yang telah mengantongi legalitas untuk beroperasi, terkadang dengan harus mengubah tata ruang makro yang sudah ada lebih dahulu namun kurang/tidak sesuai dengan tuntutan bisnis sang pengembang; (iii) perubahan guna lahan secara spontan dan illegal, seringkali diakibatkan oleh faktor keterbatasan sosial-ekonomi, pada lahan-lahan publik, milik negara, milik korporasi atau individu yang tidak diawasi dalam kurun waktu yang cukup lama (seperti yang terjadi di sepanjang bantaran sungai, jalur hijau, lahan tidur dan bahkan kolong jembatan). Modus keempat, yaitu kawasan yang berkembang secara terencana sesuai dengan tata ruang makro yang ada (misalnya Kebayoran Baru atau sebagian—tapi tidak semua—kota-kota baru yang menjamur di sekitar Jabodetabek) boleh dibilang minoritas!

Yang terjadi adalah kota-kota yang kita lihat dan tinggali sehari-hari: semrawut, individualis dan miskin ruang publik. Dalam situasi seperti itu, memang sangat “natural” bahwa ruang publik akan menjadi korban. Tiga dasa-warsa yang lalu Garret Hardin (1968) telah mengingatkan kita tentang fenomena yang dinamakannya “The Tragedy of the Commons” di mana ruang publik akan menjadi korban kepentingan-kepentingan pribadi jika tidak ada aturan pemakaiannya.[1]

Kemudian, ahli geografi perkotaan, John Rennie Short (1996) juga telah mengingatkan problematika yang secara inherent menempel pada kota-kota yang semakin kapitalistik, yaitu fenomena yang dia sebut—merujuk pada apa yang dipelajari oleh Frederick Engels kurang lebih satu setengah abad yang lalu—sebagai “The Paradox of the Capitalist City”: sebuah ko-eksistensi dua hal yang sangat bertentangan. “Kota” pada dasarnya adalah sebuah “shared space” sedangkan “kapitalisme” pada dasarnya adalah “individual profits”. Akibatnya, yang terjadi adalah ketegangan terus menerus dan pertempuran perebutan ruang kota antara mereka yang punya uang (dan kekuasaan) dan mereka yang “bonek” (“bondo-nekat” atau hanya bermodalkan nekat, berani pasang badan, akibat dari keterdesakkan yang dialaminya).

Tiga Aras Persoalan
Dengan modus produksi ruang kota seperti diuraikan secara ringkas di atas, maka terjadi akumulasi persoalan yang sangat kompleks. Kalau pengelola kota tidak mampu menguraikan persoalan-persoalan tersebut secara lebih sistematis, maka kita akan selalu dihadapi persoalan yang tidak berkesudahan, bahkan kadang-kadang seperti “running in circle” (berputar-putar pada persoalan yang sama dari waktu-ke-waktu) seperti persoalan banjir besar di kawasan Jabodetabek yang kita hadapi setiap lima tahun.

Oleh karena itu, adalah penting untuk menyadari bahwa proses penyediaan ruang kota kita—seperti juga setiap persoalan besar lain—memiliki tiga aras (tingkatan) persoalan, yaitu persoalan-persoalan praktikal yang mudah dilihat, dirasakan atau dicerna oleh logika sederaha, persoalan-persoalan sistemik yang menyangkut aspek kelembagaan, kebijakan, sistem tata-kelola, sistem tata-ruang dan lain-lain yang tentunya lebih tidak mudah dilihat atau dirasakan, serta persoalan-persoalan paradigmatik, yaitu yang menyangkut cara-pandang atau cara-berpikir kita, khususnya dalam melihat posisi manusia dan lingkungannya. Cara pandang ini (khususnya yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta/pengembang terkait) kemudian akan mempengaruhi sistem yang ada dan pada ujungnya akan mempengaruhi praktek-praktek pembuatan ruang kota.

Persoalan-persoalan praktikal (seperti bagaimana menyediakan, merancang dan mengembangkan ruang kota baru secara baik; atau bagaimana merancang jalur pedestrian yang tetap dapat menampung pedagang kaki lima) sudah cukup banyak dibahas. Demikian pula persoalan-persoalan sistemik (seperti bagaimana menyusun tata-kelola kota yang efisien, transparan, partisipatif, akuntable, efektif dan responsif; atau bagaimana alokasi ruang kota agar pelaku kegiatan ekonomi informal masih dapat melakukan aktifitasnya tanpa mengganggu pengguna kota lainnya) juga sudah cukup sering dibahas.

Yang secara khusus ingin diingatkan melalui tulisan ini adalah adanya persoalan paradigmatik yang sangat penting walau tidak kasat mata. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa proses globalisasi (yang juga membawa globalisasi nilai-nilai) telah membuat banyak pemerintah (kota maupun nasional) harus mereposisi perannya. Jika di era sebelum 1980-an pemerintah umumnya memegang kendali dalam berbagai aspek pembangunan, maka di era 1990-an pihak swasta mulai berperan sangat besar (termasuk membangun kota-kota baru hampir sepenuhnya oleh swasta); kemudian di era setelah itu masyarakat madani menuntut untuk juga memiliki peran dalam proses-proses pengadaan ruang kota. Yang terjadi kemudian banyak pemerintah kota (tidak hanya di Indonesia, tetapi dala konteks tulisan ini khususnya di Indonesia) yang kemudian “gamang,” tidak merasa yakin bagaimana harus berperan secara tepat.

Kota-kota yang beruntung memiliki kepemimpinan lokal yang kuat dan berorientasi kepada kepentingan publik akan cepat bertindak mengambil manfaat dari proses desentralisasi dan globalisasi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan warganya. Namun lebih banyak kota-kota yang pemerintahnya “withdraws from its responsibilities” dan praktis bisa dikatakan “menyerahkan” proses-proses pembentukan ruang kota ini kepada masyarakat dan swasta. Dalam situasi seperti ini maka fenomena “Tragedy of the Commons” dan “Paradox of the Capitalist City” menjadi semakin mengental dan akibatnya akan ada yang dikorbankan: mereka yang tidak memiliki uang (kekuasaan) atau keberanian untuk “nekat” akan tersingkir ke pinggiran kota. Ruang publik pun akan semakin menghilang, digantikan oleh ruang-ruang “semi publik” yang dimiliki oleh korporasi (seperti ruang-ruang di dalam “mall”)

Penutup
Harus diakui, kajian ini masih memerlukan pendalaman. Namun setidaknya sudah terlihat adanya persoalan yang lebih mendasar dalam cara-cara kita menyediakan ruang kota guna menampung proses urbanisasi yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesadaran akan adanya masalah mendasar dan paradigmatik ini merupakan langkah awal untuk mencoba secara bersama-sama mencari solusinya. Jika proses mencari solusi bersama ini bisa dijalankan secara terus-menerus oleh pemerintah (pusat dan kota) bersama-sama dengan warganya, maka bisa diharapkan kota-kota kita suatu saat menjadi kota-kota yang nyaman ditinggali (livable), ramah lingkungan dan berkelanjutan.


[1] Solusi yang diusulkan Hardin dalam mengatasi fenomena “The Tragedy of the Commons” ada dua: (i) privatisasi (bila mungkin) karena dengan demikian masing-masing pemakai akan bertanggung-jawab terhadap ruangnya sendiri-sendiri, atau (ii) apa yang disebut “mutually agreed-upon coercion” atau pembatasan terhadap diri masing-masing pemakai yang disetujui bersama. Untuk ruang-ruang kota yang tidak selalu bisa diprivatisasi maka pendekatan kedua adalah yang paling tepat: peraturan yang ditegakkan.