Selepas Lebaran, arus-balik pemudik ke kota-kota besar, khususnya Jakarta, seringkali membawa pendatang baru dari desa. Bagi pengelola kota, fenomena ini menjadi momok karena berarti tambahan beban untuk pemenuhan pelayanan publik, sarana-prasarana serta perumahan. Operasi Yustisi—yang ironisnya tidak mencerminkan kata “justice”—pun digelar untuk mencegah pendatang baru serta memulangkan mereka yang dianggap tidak memenuhi syarat-syarat untuk tinggal di kota. Hal ini terjadi karena urbanisasi masih dilihat sebagai sekedar variabel demografis dalam kebijakan publik, khususnya sebagai faktor negatif yang harus dihindari atau dikurangi.
Padahal, urbanisasi—dalam arti bertambahnya penduduk perkotaan akibat migrasi maupun alih fungsi lahan—merupakan fenomena yang tak dapat dihindari seiring dengan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Bahkan, pengalaman di Cina, dengan segala kelemahan dan kekhususannya, mengajarkan bahwa urbanisasi bisa dijadikan basis pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Peran strategi urbanisasi ini jarang terungkap ketika orang terpana melihat pembangunan ekonomi Cina yang spektukular dan berhasil mengentaskan ratusan juta warga miskin dalam tempo 30 tahun.
Pengalaman Cina
Syahdan, pada tahun 1978 Deng Xiaoping berkehendak membuka Cina kepada ekonomi dunia. Namun, pemimpin Cina itu menemukan warisan kegagalan Revolusi Kebudayaan dalam bentuk kemiskinan yang sangat massif baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan. Boleh dikatakan pada waktu itu 80% penduduk Cina termasuk miskin dan sisanya pun tidak kaya.
Deng juga melihat struktur perkotaan yang terlalu didominasi oleh dua kota besar, Beijing dan Shanghai, yang waktu itu sangat pengap dan penuh polusi. Ketika itu, 85% air untuk keperluan Beijing diambil dari sumur-sumur tanah yang mengakibatkan beberapa tempat di ibukota negara ini ambles karena tanah yang makin berpori.
Keputusan pemimpin Cina waktu itu sangat taktis walaupun tidak mudah dari kacamata keadilan. Untuk mengurangi dominasi ekonomi dua kota besar tersebut, pemerintah tidak menyebarkan sumberdaya pembangunan yang waktu itu masih sangat terbatas ke seluruh wilayah negeri yang sangat luas itu. Pun tidak ada niat untuk memindahkan ibukota negeri sekedar untuk mengatasi masalah internal di kota Beijing. Mereka memilih mengkonsentrasikannya pembangunan infrastruktur di segelintir lokasi yang dipilih menjadi kawasan ekonomi khusus.
Pada awalnya hanya 4 atau 5 kawasan yang mendapat perhatian all-out termasuk menciptakan amenities kota sehingga terlihat nyaman. Lahirlah Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Dan ternyata hal ini—dikombinasikan dengan tenaga kerja yang waktu itu masih murah serta pasar Cina yang terus membesar—menjadi sangat menarik bagi investor dunia.
Ketika dana mulai masuk, pemerintah Cina mulai membangun konsentrasi-konsentrasi perkotaan baru lainnya secara bertahap tapi pasti. Urbanisasi pun ‘diatur’ ke arah pusat-pusat pertumbuhan baru tersebut. Setelah generasi pertama di atas, muncul generasi kedua yang terdiri atas 14 pusat pertumbuhan baru. Selanjutnya pertumbuhan diarahkan terwujudnya koridor-perkotaan seperti di Pearl River Delta, Yangtze River Delta dan Xiamen-Zhangzhou-Quanzhou Triangle. Belakangan, kawasan hinterland di belahan Barat negeri mulai mendapat perhatian, antara lain dengan membangun jaringan kereta api yang menghubungkannya dengan kawasan Pantai Timur.
Baru di awal tahun 1990-an pemerintah Cina lebih serius mendorong kawasan Pudong di seberang Shanghai menjadi pusat bisnis utama. Demikian pula, perhatian kembali kepada Beijing pun baru terlihat menjelang Asian Games 1990 dan kemudian lebih besar-besaran menjelang Olimpiade 2008. Beijing tetap menjadi pusat politik dan budaya, sementara Shanghai dan kota-kota metropolitan baru tersebut menjadi pusat-pusat niaga yang kuat.
Cerita selanjutnya adalah apa kita lihat saat ini di mana Cina berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama kurun waktu yang panjang sekaligus mengentaskan ratusan juta warganya dari kemiskinan. Seorang pejabat PBB bahkan pernah berkata bahwa target pengurangan kemiskinan global dalam Millennium Development Goals (MDGs) mungkin akan tercapai di tahun 2015 “thanks to what has been happening in China.”
Tentu banyak pula hal negatif dari urbanisasi di Cina seperti polusi yang mewarnai kota-kota besar walau sudah mulai diatasi dengan penghijauan, melebarnya kesenjangan kaya-miskin dan kota-desa serta terbatasinya hak-hak warga untuk memilih tempat tinggal. Pun terdapat kekhasan konteks politis-administratif di Cina yang membuatnya tidak bisa begitu saja diterapkan di Indonesia. Namun hal-hal tersebut tidak dapat menegasi pelajaran bahwa kebijakan dan strategi urbanisasi yang jelas dan konsisten dapat sangat bermanfaat.
Salah satu yang menjadi argumen penjelas mengapa urbanisasi sering—walau tidak selalu—sejajar dengan pertumbuhan ekonomi serta pengentasan kemiskinan adalah kenyataan bahwa pertambahan nilai dari sektor-sektor ekonomi perkotaan per-kapita umumnya jauh lebih besar dari yang dihasilkan oleh sektor-sektor perdesaan. Afrika memberi contoh yang berlawanan, yaitu urbanisasai yang tidak disertai dengan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Hal ini karena tidak ada tata-kelola urbanisasi sama sekali.
Lima Komponen
Belajar dari pengalaman di atas, serta fenomena urbanisasi di berbagai negara lain, maka jika konsep urban-led development ini hendak diterapkan di Indonesia, strategi ini harus mengandung lima komponen utama.
Walaupun strategi ini bertajuk urban-led development, komponen pertamanya mensyaratkan pemenuhan kebutuhan dasar di kawasan perdesaan serta kawasan non-perkotaan lainnya. Ini tidak hanya menyangkut pelayanan publik tetapi juga peluang peningkatan kesejahteraan warga desa yang seluas-luasnya seperti akses kepada pinjaman murah, pelatihan tepat-guna, kepemilikan atas lahan pertanian dengan luasan yang optimal, penyuluhan tata-cara produksi, pengemasan dan pemasaran termasuk penguatan posisi-tawar masyarakat perdesaan. Dengan demikian push-factor dalam migrasi desa-kota bisa ditekan sekecil mungkin.
Namun, bagaimanapun akan selalu ada iming-iming atau peluang nyata yang lebih besar untuk maju jika penduduk pindah ke kawasan perkotaan. Untuk ini, komponen kedua strategi urban-led development adalah mewajibkan pemerintah pusat dan propinsi untuk menyediakan pelatihan ketrampilan maupun pendidikan dan ‘pembekalan’ lainnya sehingga para migran yang datang ke kota lebih siap untuk ‘bertarung’ di belantara ekonomi-sosial perkotaan.
Komponen ketiga dari strategi ini adalah kesiapan dan keterbukaan pemerintah kota untuk menampung dan memfasilitasi pendatang baru. Mereka tidak boleh dianaktirikan atau diabaikan sehingga harus tinggal di gubuk-gubuk liar padahal jasa mereka yang murah dimanfaatkan oleh industri maupun rumah-tangga perkotaan. Cara Pemerintah Kota Solo menangani pedagang kaki-lima dan Pemerintah Kota Pekalongan menangani perumahan memberikan pelajaran bahwa hal seperti ini bisa dilakukan.
Namun pemerintah kota tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian karena urbanisasi bukan persoalan setempat saja. Komponen keempat mensyaratkan pemerintah pusat dan propinsi harus memberikan insentif fiskal bagi pemerintah kota yang dapat memfasilitasi pendatang baru dengan baik. Insentif fiskal juga bisa diberikan kepada pemerintah kabupaten yang berkinerja dalam pemenuhan komponen pertama di atas.
Komponen kelima juga merupakan otoritas pemerintah pusat, yaitu penyebaran pusat-pusat pertumbuhan sehingga terbentuk apa yang disebut decentralized concentrations atau konsentrasi-konsentrasi yang tersebar. Tidak disebar secara ‘tipis-merata’ tetapi dipusatkan di segelintir titik-titik pertumbuhan yang akan terus bertambah seiring waktu.
Persebaran Pusat Pertumbuhan
Saat ini ekonomi negara kita sangat didominasi oleh kawasan Jabodetabek. Dan ini tidak sehat serta menghambat pertumbuhan ekonomi selanjutnya karena sudah terjadi kejenuhan infrastruktur di kawasan ini yang mengurangi daya-tarik ekonominya. Pun, berdasarkan penelitian Dr. Budi Resosudarmo dari Australian National University, ternyata Jakarta ternyata hanya mampu mendorong perekonomian di Jawa Barat dan Banten saja. Padahal kita semua tahu Jakarta menyedot sumberdaya dari berbagai pelosok Nusantara. Inilah sumber membesarnya ketimpangan yang selama ini terjadi.
Karena itu harus ada upaya yang serius dan all out untuk menyebarkan pusat-pusat konsentrasi ini keluar Jabodetabek. Namun perlu dicermati, bahwa usulan penyebaran gula-gula urbanisasi ini bukan seperti yang selama ini kita lakukan yaitu dengan membagi berbagai investasi pembangunan infrastruktur niaga ke sekian banyak titik di seantero wilayah. Jika kita membagi sumberdaya yang memang sudah terbatas secara tipis ke banyak lokasi, maka yang terjadi adalah kawasan-kawasan ekonomi yang sama sekali tidak memiliki daya saing internasional maupun terhadap Jakarta. Apalagi kalau harus bersaing dengan kawasan ekonomi sekelas Pearl River Delta tersebut di atas.
Maka yang harus kita lakukan adalah mengkonsentrasikan penyebaran gula-gula urbanisasi tadi ke segelintir lokasi. Pusatkan investasi pembangunan infrastruktur niaga ke segelintir lokasi tersebut sehingga dapat menimbulkan daya tarik yang sangat kuat bagi investasi asing. Lambat laun jumlah pusat-pusat pertumbuhan ini bisa ditambah dengan lebih menekankan pada kota-kota di luar Pulau Jawa namun yang memiliki basis penduduk hinterland yang memadai.
Secara kasar, diperkirakan saat ini kita hanya mampu mendorong secara all-out sekitar 3 – 5 pusat perkotaan yang bukan hanya “gula-gula urbanisasi” di dalam negeri tetapi sekaligus juga menjadi kota yang berdaya-saing internasional. Surabaya, Medan, Balikpapan dan Makassar mungkin dapat dipertimbangkan. Pemilihannya bisa dengan menggunakan cara lelang atau kompetisi antar kota dari segi tata-kelola. Bisa pula diselaraskan dengan konsep enam koridor ekonomi, pusat-pusat pertumbuhan tersebut harus memiliki koneksi langsung ke ekonomi global, tanpa harus melalui Jakarta.
Apakah memindahkan ibukota negara, yang sempat hangat dibicarakan, selaras dengan strategi “decentralizing concentrations” ini? Hal ini bisa menjadi satu topik tersendiri karena jawabannya bisa “Ya” dan bisa “Tidak.” Namun, secara prinsip, ketika sumberdaya finansial yang kita miliki masih sangat terbatas, strategi ini tidak menyarankan investasi besar-besaran ke suatu lokasi yang tidak akan banyak mengundang investasi niaga dari luar. Apalagi jika investasi itu lebih untuk membangun bangunan-bangunan simbolik-politis yang cenderung mahal tetapi kecil dampak ekonominya.
Ekuilibrium Urbanisasi
Pertanyaan berikutnya, urbanisasi sampai kapan? Equilibrium atau keseimbangan urbanisasi akan terjadi ketika peluang peningkatan kesejahteraan di perdesaan sudah relatif sebanding dengan peluang peningkatan kesejahteraan di perkotaan. Hal ini tidak dapat tercapai ketika kepadatan penduduk di perdesaan masih sangat tinggi, karena dengan demikian produktifitas per kapita warga di perdesaan menjadi rendah, sehingga warga desa terjebak dalam kemiskinan.
Memang, sampai terdekatinya equilibrium, kesenjangan kesejahteraan desa-kota akan melebar. Namun ketika peluang peningkatan kesejahteraan di perdesaan sudah mulai membaik karena tekanan penduduk sudah berkurang, maka kesenjangan itu akan berkurang walau tidak akan bisa hilang. Lihat saja bagaimana negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia maupun negera-negara di Eropa banyak yang masih mengandalkan sektor pertanian walau tingkat urbanisasinya sudah tinggi (sekitar 80% - 90%). Di negara-negara tersebut, arus migrasi desa-kota sudah sangat insignifikan karena warga perdesaan pun sejahtera.
Penutup
Dengan tingkat urbanisasi yang 50% saat ini, Indonesia masih akan terus mengalami proses urbanisasi, baik dalam bentuk migrasi desa-kota maupun proses-proses menjadi kota lainnya. Urbanisasi tidak hanya tak terelakkan dalam ekonomi global yang semakin kompetitif, tetapi justru memberi basis pijakan bagi pembangunan. Upaya menghambat migrasi bukan hanya bersifat kontra produktif dan melanggengkan kemiskinan, tetapi juga menghilangkan peluang warga untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Karena itu, jangan takut urbanisasi. Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan dan memanfaatkan fenomena global ini untuk pembangunan manusia maupun untuk keberlanjutan bumi tempat kita tinggal.
Sunday, October 9, 2011
Thursday, September 16, 2010
Pemindahan Ibukota Bukan Solusi [Terbaik] Kemacetan Jakarta
Akhir-akhir ini gagasan untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke tempat lain terus digulirkan, bahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sumber gagasannya adalah kemacetan lalu lintas di Jakarta yang semakin akut dan kronis. Namun saya tidak melihat pemindahan ibukota sebagai solusi terbaik dari kemacetan di Jakarta.
Kemacetan di Jakarta harus dipecahkan pada akar permasalahannya, yaitu tata-kelola transportasi dan tata-ruang kota yang tidak berpihak pada pengguna angkutan umum massal—busway ataupun subway—serta jalur pedestrian dan ruang-ruang publik yang nyaman, aman dan terjangkau. Akibatnya, semua orang yang mampu memilih jalan privat, yaitu dengan kendaraan pribadi serta menggunakan “ruang publik” yang tidak sepenuhnya publik, yaitu dalam bentuk mall. Akibatnya, ruang publik berupa jalan yang luasannya memang sudah di bawah standard (total luas jalan di Jakarta diperkirakan sekitar 6,2% dari total luas wilayah kota, padahal idealnya adalah sekitar 15 – 20 % dari total luas lahan perkotaan) lebih banyak dipakai secara tidak efisien oleh para pengguna kendaraan pribadi.
Kemacetan di Jakarta harus dipecahkan pada akar permasalahannya, yaitu tata-kelola transportasi dan tata-ruang kota yang tidak berpihak pada pengguna angkutan umum massal—busway ataupun subway—serta jalur pedestrian dan ruang-ruang publik yang nyaman, aman dan terjangkau. Akibatnya, semua orang yang mampu memilih jalan privat, yaitu dengan kendaraan pribadi serta menggunakan “ruang publik” yang tidak sepenuhnya publik, yaitu dalam bentuk mall. Akibatnya, ruang publik berupa jalan yang luasannya memang sudah di bawah standard (total luas jalan di Jakarta diperkirakan sekitar 6,2% dari total luas wilayah kota, padahal idealnya adalah sekitar 15 – 20 % dari total luas lahan perkotaan) lebih banyak dipakai secara tidak efisien oleh para pengguna kendaraan pribadi.
Bayangkan, jika sebuah bus bisa mengangkut 40-50 orang, ruang jalan yang sama hanya bisa menampung 2-3 kendaraan pribadi dengan daya angkut total 10-15 orang. Karena itu sistem angkutan umum seperti busway mencerminkan penggunaan ruang publik yang lebih fair -- untuk kepentingan publik -- daripada membiarkan jalan raya dipenuhi mobil-mobil pribadi. (Catatan: kereta api akan mengangkut jauh lebih banyak manusia daripada sistem bus). Sistem busway yang ada saat ini terlihat tidak efisien (banyak ruang jalan yang kosong) karena jarak antar bus ("headway") masih terlalu jauh sehingga banyak kaum awam yang naturally melihat jalur khusus yang kosong ini sebagai pemborosan di tengah-tengah padatnya kemacetan. Tidak heran, godaan untuk menyerobot sangat besar.

Penyediaan angkutan umum massal yang murah, aman dan nyaman saja belum menyelesaikan masalah, karena orang juga menuntut kemudahan dari dan ke titik-titik pemberhentian angkutan umum tersebut. Karena itu jalur pedestrian harus nyaman, sinambung dan memadai. Akan jauh lebih menarik lagi bagi pengguna kota jika ruang-ruang publik diperkaya dengan berbagai amenities sehingga orang akan dengan senang hati menggunakannya. Peran urban design selama ini terabaikan!
Tata-ruang pun harus terpadu dengan pola transportasi. Jangan tiba-tiba ada mall besar di daerah yang bukan merupakan simpul transportasi massal. Fungsi semacam itu akan membangkitkan lalu-lalang (traffic generator) yang kemudian tidak terakomodasi oleh sistem angkutan umum. Pola tata-ruang yang linear (ribbon development) juga menimbulkan side-frictions yang terlalu banyak pada jalan-jalan utama karena seringnya mobil keluar-masuk. “Gangguan” kelancaran berlalu-lintas juga ditimbulkan oleh tanda-tanda lalu lintas yang kurang jelas dan terkadang “menjebak.” Lokasi papan nama jalan sebagaimana yang kita terapkan di Indonesia juga bisa menyebabkan pelambatan arus karena pengemudi baru dapat melihat papan nama tersebut ketika sudah di persimpangan (contoh pemasangan papan nama yang informatif bagi pengemudi adalah yang diterapkan di Amerika Serikat di mana pengemudi bisa melihat dari beberapa blok sebelum berbelok ke jalan yang dituju).
Disiplin penggunaan jalan dan ruang publik juga merupakan hal yang harus ditegakkan. Sudah bukan hal yang baru kalau angkutan umum kita ini bisa berhenti seenaknya kapan saja dan di mana saja dengan alasan karena mereka mengejar setoran. Sebagian badan jalan umum pun terkadang ditutup oleh parkir atau pedagang informal (seperti dalam kasus “pasar tumpah”) atau bahkan oleh toko atau bengkel formal yang berada di pinggir jalan tersebut (lihat saja para pedagang sepeda di Pasar Rumput yang meletakkan barang dagangannya di pedestrian maupun di badan jalan). Ketika jalur pedestrian digunakan sepenuhnya oleh pedagang kaki-lima atau “perluasan” toko maka pejalan kaki pun akhirnya harus menggunakan badan jalan. Dan ini tentu menghambat arus lalu-lintas.
Masalah di atas—hanya sebagian kecil saja dari berbagai masalah sebenarnya—tidak hanya merupakan masalah teknis. Terdapat masalah governance di sana, karena ada unsur korupsi, kurangnya akuntabilitas, premanisme, perijinan yang tidak jelas, bribery dan lain-lain. Sehingga perbaikan dalam hal tata pengelolaan kota (urban governance) menjadi hal yang tidak bisa diabaikan seiring dengan perbaikan-perbaikan teknis di atas. Tanpa perbaikan dalam hal urban-governance, maka efisiensi dan efektifitas perbaikan-perbaikan teknis di atas tidak dapat maksimal.
Di sini lah akar masalah kemacetan kota Jakarta (dan kota-kota besar di Indonesia lainnya) yang harus diatasi. Memindahkan ibukota saja tidak akan mengatasi masalah kemacetan di atas. Bisa jadi, dengan memindahkan ibukota dari Jakarta, pemerintah pusat malah dilihat sebagai “lari dari tanggung jawab” karena kemudian “berasyik-masyuk” dengan ibukota baru dan meninggalkan Jakarta in a mess.
Lebih baik sebarkan gula-gula urbanisasi
Sebenarnya gagasan memindahkan ibukota sebagai solusi kemacetan lalu-lintas di Jakarta tidak 100% di luar logika. Ada sedikit logika yang berlaku di sini, yaitu bahwa sebagai ibukota negara maka Jakarta mengundang “tekanan penduduk” untuk datang ke Jakarta, sehingga membuat jumlah penduduk Jakarta dan sekitarnya membengkak.
Namun logika ini pun memiliki kelemahan karena dapat diperkirakan bahwa sebagian besar penduduk yang bermigrasi ke Jakarta bukanlah untuk bekerja di kantor-kantor pemerintah pusat, melainkan untuk bekerja di unit-unit niaga (baik swasta maupun milik pemerintah) ataupun membukan usaha sendiri baik secara formal maupun informal. Hal ini lebih disebabkan karena prinsip ‘aglomerasi ekonomi,’ yaitu Jakarta sebagai kumpulan besar berbagai kegiatan usaha daripada Jakarta sebagai ibukota.
Memang, terdapat dimensi KKN, di mana pengusaha berusaha mendekat kepada penguasa agar mendapatkan proyek pemerintah, sehingga berbondong-bondong pengusaha daerah pun pindah ke Jakarta ketika menjadi besar. Namun hal ini bukanlah praktek yang harus dipertahankan. Penerapan prinsip good governance harus memberi peluang yang sama antara pengusaha di ibukota dan pengusaha di daerah dalam mendapatkan proyek pemerintah pusat. Lagipula, di masa depan, peran langsung pemerintah dalam investasi akan semakin kecil (RPJMN 2010 – 2014 memperkirakan investasi pemerintah tidak lebih dari 18% dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan). Karena itu “dalliance” pengusaha-penguasa tidak boleh dijadikan alasan bahwa peran ibukota adalah daya-tarik utama bagi orang untuk datang ke Jakarta.
Meskipun demikian, adalah benar bahwa sebaiknya pusat bisnis dan pusat pemerintah tidak ‘ngumpul’ di satu tempat. Dalam hal ini saya berpendapat bahwa memperkuat segelintir pusat-pusat pertumbuhan di luar Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek)—atau bahkan di luar Jawa—merupakan alternatif yang lebih baik daripada membangun ibukota negara yang baru. Mengapa demikian?
Membangun ibukota negara tidak pernah bisa murah, karena akan penuh dengan simbolisme (istana presiden, gedung MPR/DPR, kantor-kantir departemen, rumah-rumah dinas pejabat negara). Sejarah pembangunan ibukota negara selalu menunjukkan adanya cost-overrun atau realitas biaya yang lebih daripada yang direncanakan. Biaya yang sama akan jauh lebih bermanfaat secara ekonomis jika digunakan untuk membangun infrastruktur niaga di 3-5 kota metropolitan di luar Jabodetabek (sebagian besar di antaranya harus di luar Jawa) sehingga kota-kota metropolitan ini dapat menjadi pusat-pusat niaga yang kompetitif dan berdaya-tarik internasional atau, setidaknya, regional.
Istilah dagangnya, kalau kita investasi Rp. 100 Triliun rupiah untuk ibukota, maka kita hanya mendapatkan sesuatu senilai kurang lebih Rp.100 Triliun (mungkin plus sedikit karena tentu akan ada investasi tambahan dari pihak lain seperti pembangunan kantor-kantor kedutaan). Tapi kalau Rp. 100 Triliun itu kita gunakan untuk infrastruktur niaga di 3-5 lokasi (masing-masing sekitar Rp. 20 – 35 Triliun) sehingga menjadi sangat menarik bagi investor asing—semacam Pearl River Delta di China, tapi dengan skala yang lebih kecil tentunya—maka bisa jadi kita mendapatkan sesuatu dengan nilai yang berlipat ganda dari nilai investasi Rp. 100 Triliun tersebut. (Namun pantas dicatat, jika Rp. 100 Triliun itu kita sebar “terlalu tipis” ke banyak lokasi di seantero Nusantara—seperti strategi pembangunan yang ada saat ini—maka yang terwujud bukanlah lokasi-lokasi yang berdaya-saing internasional, sehingga tidak akan banyak mengundang investasi asing, dan akhirnya kita hanya mendapatkan “sesuatu” senilai kurang lebih investasi tersebut plus sedikit bisnis lokal yang berhasil dibangkitkan).
Kebijakan menyebarkan gula-gula urbanisasi ini ke sekumpulan konsentrasi (jadi tidak disebarkan secara merata, namun juga tidak dikumpulkan di satu lokasi yaitu Jakarta) yang disebut kebijakan “decentralizing concentration”. Dikombinasikan dengan kebijakan “urban-based development” strategi ini merupakan salah satu kunci keberhasilan China dalam membangun ekonominya serta mengurangi jumlah orang miskin hingga ratusan-juta jiwa dalam kurun waktu 30 tahun. Dan ini pantas kita tiru, walau ada konteks yang tidak sama.
Dari segi sensitifitas politis pun, kebijakan membangun 3-5 pusat-pusat niaga berskala internasional jauh lebih baik daripada membangun satu ibukota negara. Bayangkan, dalam kurun waktu kurang lebih 10 – 15 tahun (kurun waktu yang cukup singkat dalam sejarah pembangunan kota), pemerintah harus menyisihkan dana yang tidak sedikit untuk “fasilitasnya sendiri” (istana, gedung DPR/MPR, kantor-kantor dan rumah dinas beserta fasilitasnya yang tidak murah). Kalau membangun gedung DPR baru yang senilai Rp. 1.6 Triliun saja sudah menghebohkan dan dianggap menyinggung sensibilitas masyarakat, bagaimana dengan pemerintah menyisihkan Rp. 10 – 15 Triliun setiap tahunnya dalam kurun waktu 10 – 15 tahun? Masyarakat akan merasa tenang jika dana yang sama itu dialokasikan untuk infrastruktur yang secara langsung akan memperlancar kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Bisa saja kedua konsep di atas dijadikan satu: menyebarkan gula-gula urbanisasi ke 3-5 pusat-pusat pertumbuhan plus membangun satu ibukota baru. Tapi ini berarti akan menuntut lebih banyak dana. Karena itu saya berpendapat, kita baru bisa membuat ibukota baru kalau kita sudah memiliki kelebihan uang Rp. 100 triliun yang tidak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat serta meningkatkan daya saing kota-kota kita di tingkat internasional (“If and when we have Rp. 100 trillion that we can live without for about 10 years”). Punyakah kita sekarang? Tampaknya, belum saatnya!
Saturday, February 14, 2009
Kota yang Berkeadilan
[Telah dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia, 1 Oktober 2007]
Tema Hari Habitat—yang selalu dilaksanakan di seluruh dunia setiap hari Senin pertama bulan Oktober—tahun 1997 adalah “A safe city is a just city”. Dengan ini, Perserikatan Bangsa Bangsa hendak mengingatkan bahwa kota yang aman berarti juga kota yang berkeadilan karena memungkinkan siapa saja—wanita, anak-anak, minoritas, difabel, kaya maupun miskin—untuk beraktivitas di kota tanpa harus merasa takut atau was-was akan terjadi hal-hal yang mengganggu rasa aman mereka. Di sini penekanannya memang lebih kepada penciptaan kota yang aman.
Namun, kita bisa juga memaknainya secara terbalik: “A just city is a safe city,” dengan penekanan pada upaya penciptaan kota yang berkeadilan. Kota yang berkeadilan adalah kota yang dapat memberi peluang kurang lebih sama bagi siapa saja untuk tinggal dan bekerja di kota tersebut. Dan karena di era yang serba kapitalistik ini mereka yang berpenghasilan menengah ke atas selalu dapat menawar lokasi yang terbaik, maka persoalannya dapat dipersempit menjadi bagaimana memberi akses ruang kota bagi kaum miskin.
Dilema yang Ada
Menyediakan ruang kota bagi kaum miskin bukan persoalan gampang karena dengan semakin padatnya kota-kota kita, maka semakin mahal pula harga lahan di dalam kota. Jika hanya mekanisme pasar yang bekerja, maka niscaya kaum miskin akan tersingkir jauh ke kawasan pinggiran yang masih murah. Ini pun semakin tidak mudah didapat. Atau mereka terpaksa harus menyusup ke ruang-ruang sempit seadanya di dalam kota, termasuk tinggal di kolong-kolong jalan tol. Ketika urusan sesuap nasi untuk esok hari saja masih belum jelas, legalitas dan keselamatan sendiri maupun orang lain menjadi urusan entah nomor berapa.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk “melengkapi” mekanisme pasar yang ada. Penulis sebut “melengkapi” karena memang sebaiknya pemerintah—selain sebagai regulator untuk memastikan berjalannya sistem pasar yang adil—hanya berperan langsung di bidang-bidang di mana pasar tidak bisa berfungsi sama sekali (terjadi market failures).
Jika pasar sudah bekerja dengan baik dalam menyediakan ruang kota bagi kaum menengah ke atas, biarlah jangan diintervensi dengan segala macam aturan yang memberatkan. Namun biasanya pasar (formal) gagal melayani kebutuhan akan ruang kota untuk tinggal dan berusaha bagi kaum miskin, khususnya yang berada di sekitar dan di bawah garis kemiskinan. Walaupun 60% penduduk miskin saat ini masih tinggal di perdesaan, jumlah absolut kaum miskin di perkotaan diperkirakan akan meningkat seiring dengan pesatnya arus urbanisasi.
Dan kalau upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan ruang kota bagi kaum miskin ini tidak efektif, maka alternatifnya adalah berkembangnya pasar informal ruang kota: proses produksi dan jual beli ruang tinggal serta ruang untuk mencari nafkah secara tidak teregulasi bahkan terkadang melanggar regulasi atau ilegal (dengan derajat ilegalitas yang berbeda-beda) karena memang ada kebutuhan ruang kota yang gagal dipenuhi oleh pasar formal.
Setidaknya ada dua fenomena saling kait-mengkait yang perlu dicermati pada dinamika pasar formal-informal ruang kota, khususnya jika pemerintah memilih berpangku tangan atau melakukan tindakan yang kurang tepat. Pertama cepat atau lambat kekuatan finansial pasar formal akan terus-menerus mendesak pasar informal ke lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan. Kedua, pada saat yang sama pasar informal tidak akan menyusut begitu saja jika memang tidak ada perbaikan yang signifikan pada penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah, karena sejatinya pasar informal merupakan cermin dari struktur sosial-ekonomi masyarakat secara umum. Akibatnya akan terjadi ketegangan (tensions) sosial yang berkelanjutan.
Di luar aspek legal-formal, sebenarnya pasar informal dalam produksi ruang tinggal dan ruang untuk mencari nafkah (kaki lima, ojek, dan lain-lain) di kota adalah syah saja karena toh “diterima” oleh masyarakat luas (kecuali kalau sudah masuk ke ranah kriminal). Bahkan selain memberikan ruang bagi kaum miskin untuk menjalani kehidupannya di kota, pasar informal ini juga sebenarnya “mensubsidi” korporasi-korporasi formal yang menggaji karyawannya sedemikian “rendah” sehingga tidak memungkinkan untuk setiap siang hari makan di restoran formal atau membayar biaya transportasi yang mahal.
Namun sektor informal perkotaan pun memiliki sisi negatif. Antara lain, sektor ini tidak memberi jaminan kepastian status hukum, rentan terhadap bahaya yang bisa merugikan sendiri atau orang lain, menguasai ruang-ruang publik yang sebenarnya punya fungsi lain serta rentan terhadap pemerasan. Hal yang terakhir ini menurut hemat penulis adalah yang paling serius tetapi jarang dipertimbangkan baik oleh pemerintah kota yang ingin membatasi ruang gerak ekonomi informal perkotaan maupun oleh para aktivis pembela hak-hak kaum miskin untuk tinggal di kota.
Jumlah dan alur uang hasil pemerasan di sektor informal perkotaan ini sulit diketahui tetapi diperkirakan sangat besar. Jika di Jakarta terdapat 200,000 PKL (sebuah estimasi konservatif) yang setiap harinya masing-masing membayar berbagai “setoran” senilai Rp. 5000.- (juga sebuah angka yang konservatif karena di beberapa tempat strategis bisa lebih dari Rp. 15,000.- ke beberapa “penagih”), maka apa yang disebut oleh ILO (International Labour Organization) sebagai parallel structure ini bisa mencapai satu miliar rupiah per hari dan kurang lebih 25 miliar rupiah per bulan (300 miliar rupiah per tahun!). Ini hanya dari salah satu sektor perdagangan informal (PKL) saja. Masih banyak aktivitas kehidupan informal yang lain yang juga rentan pemerasan.
Fenomena disebut parallel structure karena alur arus uang dari bawah ke atas ini sejajar dengan alur arus uang formal yang berupa pajak-pajak. Bedanya, parallel structure ini tidak transparan, tidak akuntabel dan bahkan entah masuk ke mana. Jika parallel structure menjadi lebih besar daripada uang legal yang mengalir ke kas negara, maka otoritas negara/pemerintah menjadi lemah vis-a-vis kekuatan uang gelap. Ini merupakan salah satu ciri ’negara gagal.’
Lantas bagaimana?
Oleh karena itu pemerintah harus secara strategis mengupayakan peluang bagi kaum miskin untuk dapat hidup secara lebih layak di dalam kota. Kementerian Negara Perumahan Rakyat memang sedang giat mewujudkan pembangunan rumah susun 1000 menara di kota-kota besar di Indonesia. Namun, meski subsidi akan membantu kaum miskin untuk masuk ke dalam rusun tersebut, kemampuan kaum miskin untuk membiayai perawatan dan operasionalnya masih diragukan. Apakah harus disubsidi terus menerus (menjadi semacam perumahan sosial)? Ataukah ada cara lain yang dapat meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi mereka sehingga suatu saat mampu memeliharanya sendiri.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya perbaikan kampung-kampung kota. Adalah sedikit ironis melihat kenyataan bahwa program Baan Mankong di Thailand, yang dulu belajar dari program Kampung Improvement Program di Jakarta sekarang justru menjadi kiblat bagi kita untuk belajar bagaimana memperbaiki kehidupan mereka-mereka yang tinggal diperkampungan kumuh kota. Pun harus didukung upaya multi-pihak untuk mewujudkan apa yang disebut Housing Resource Center atau Baledaya Perumahan yang ditujukan untuk membantu pembangunan perumahan secara swadaya tapi tertata dengan baik.
Persoalan pengadaan lahan memang yang paling rumit dan bisa menjadi kendala bagi berbagai program pemerintah yang ada. Apalagi pemerintah terlanjur tidak mempersiapkan secara khusus bank-lahan (land bank) sebelum harga lahan menjadi mahal. Namun sebenarnya masih cukup banyak lahan-lahan milik negara yang bisa dimanfaatkan bagi tempat tinggal kaum miskin secara intensif, terencana dan tertata. Spekulasi lahan bisa dimitigasi dengan menerapkan disinsentif fiskal atau pajak progresif bagi mereka yang menyimpan lahan hanya untuk dijual kembali tanpa melakukan perbaikan apa-apa.
Akhir kata, hanya dengan memberikan peluang bagi semua pihak untuk dapat tinggal di dekat sumber-sumber nafkahlah kota yang berkeadilan dapat diwujudkan. Harapannya, jika warga dari berbagai latar-belakang sosial-ekonomi bisa hidup berdampingan secara rukun (tanpa ‘ketegangan’ atau kesalingcurigaan) maka kota akan menjadi lebih aman, manusia menjadi lebih produktif, bangsa menjadi lebih maju. Moga-moga.
Tema Hari Habitat—yang selalu dilaksanakan di seluruh dunia setiap hari Senin pertama bulan Oktober—tahun 1997 adalah “A safe city is a just city”. Dengan ini, Perserikatan Bangsa Bangsa hendak mengingatkan bahwa kota yang aman berarti juga kota yang berkeadilan karena memungkinkan siapa saja—wanita, anak-anak, minoritas, difabel, kaya maupun miskin—untuk beraktivitas di kota tanpa harus merasa takut atau was-was akan terjadi hal-hal yang mengganggu rasa aman mereka. Di sini penekanannya memang lebih kepada penciptaan kota yang aman.
Namun, kita bisa juga memaknainya secara terbalik: “A just city is a safe city,” dengan penekanan pada upaya penciptaan kota yang berkeadilan. Kota yang berkeadilan adalah kota yang dapat memberi peluang kurang lebih sama bagi siapa saja untuk tinggal dan bekerja di kota tersebut. Dan karena di era yang serba kapitalistik ini mereka yang berpenghasilan menengah ke atas selalu dapat menawar lokasi yang terbaik, maka persoalannya dapat dipersempit menjadi bagaimana memberi akses ruang kota bagi kaum miskin.
Dilema yang Ada
Menyediakan ruang kota bagi kaum miskin bukan persoalan gampang karena dengan semakin padatnya kota-kota kita, maka semakin mahal pula harga lahan di dalam kota. Jika hanya mekanisme pasar yang bekerja, maka niscaya kaum miskin akan tersingkir jauh ke kawasan pinggiran yang masih murah. Ini pun semakin tidak mudah didapat. Atau mereka terpaksa harus menyusup ke ruang-ruang sempit seadanya di dalam kota, termasuk tinggal di kolong-kolong jalan tol. Ketika urusan sesuap nasi untuk esok hari saja masih belum jelas, legalitas dan keselamatan sendiri maupun orang lain menjadi urusan entah nomor berapa.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk “melengkapi” mekanisme pasar yang ada. Penulis sebut “melengkapi” karena memang sebaiknya pemerintah—selain sebagai regulator untuk memastikan berjalannya sistem pasar yang adil—hanya berperan langsung di bidang-bidang di mana pasar tidak bisa berfungsi sama sekali (terjadi market failures).
Jika pasar sudah bekerja dengan baik dalam menyediakan ruang kota bagi kaum menengah ke atas, biarlah jangan diintervensi dengan segala macam aturan yang memberatkan. Namun biasanya pasar (formal) gagal melayani kebutuhan akan ruang kota untuk tinggal dan berusaha bagi kaum miskin, khususnya yang berada di sekitar dan di bawah garis kemiskinan. Walaupun 60% penduduk miskin saat ini masih tinggal di perdesaan, jumlah absolut kaum miskin di perkotaan diperkirakan akan meningkat seiring dengan pesatnya arus urbanisasi.
Dan kalau upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan ruang kota bagi kaum miskin ini tidak efektif, maka alternatifnya adalah berkembangnya pasar informal ruang kota: proses produksi dan jual beli ruang tinggal serta ruang untuk mencari nafkah secara tidak teregulasi bahkan terkadang melanggar regulasi atau ilegal (dengan derajat ilegalitas yang berbeda-beda) karena memang ada kebutuhan ruang kota yang gagal dipenuhi oleh pasar formal.
Setidaknya ada dua fenomena saling kait-mengkait yang perlu dicermati pada dinamika pasar formal-informal ruang kota, khususnya jika pemerintah memilih berpangku tangan atau melakukan tindakan yang kurang tepat. Pertama cepat atau lambat kekuatan finansial pasar formal akan terus-menerus mendesak pasar informal ke lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan. Kedua, pada saat yang sama pasar informal tidak akan menyusut begitu saja jika memang tidak ada perbaikan yang signifikan pada penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah, karena sejatinya pasar informal merupakan cermin dari struktur sosial-ekonomi masyarakat secara umum. Akibatnya akan terjadi ketegangan (tensions) sosial yang berkelanjutan.
Di luar aspek legal-formal, sebenarnya pasar informal dalam produksi ruang tinggal dan ruang untuk mencari nafkah (kaki lima, ojek, dan lain-lain) di kota adalah syah saja karena toh “diterima” oleh masyarakat luas (kecuali kalau sudah masuk ke ranah kriminal). Bahkan selain memberikan ruang bagi kaum miskin untuk menjalani kehidupannya di kota, pasar informal ini juga sebenarnya “mensubsidi” korporasi-korporasi formal yang menggaji karyawannya sedemikian “rendah” sehingga tidak memungkinkan untuk setiap siang hari makan di restoran formal atau membayar biaya transportasi yang mahal.
Namun sektor informal perkotaan pun memiliki sisi negatif. Antara lain, sektor ini tidak memberi jaminan kepastian status hukum, rentan terhadap bahaya yang bisa merugikan sendiri atau orang lain, menguasai ruang-ruang publik yang sebenarnya punya fungsi lain serta rentan terhadap pemerasan. Hal yang terakhir ini menurut hemat penulis adalah yang paling serius tetapi jarang dipertimbangkan baik oleh pemerintah kota yang ingin membatasi ruang gerak ekonomi informal perkotaan maupun oleh para aktivis pembela hak-hak kaum miskin untuk tinggal di kota.
Jumlah dan alur uang hasil pemerasan di sektor informal perkotaan ini sulit diketahui tetapi diperkirakan sangat besar. Jika di Jakarta terdapat 200,000 PKL (sebuah estimasi konservatif) yang setiap harinya masing-masing membayar berbagai “setoran” senilai Rp. 5000.- (juga sebuah angka yang konservatif karena di beberapa tempat strategis bisa lebih dari Rp. 15,000.- ke beberapa “penagih”), maka apa yang disebut oleh ILO (International Labour Organization) sebagai parallel structure ini bisa mencapai satu miliar rupiah per hari dan kurang lebih 25 miliar rupiah per bulan (300 miliar rupiah per tahun!). Ini hanya dari salah satu sektor perdagangan informal (PKL) saja. Masih banyak aktivitas kehidupan informal yang lain yang juga rentan pemerasan.
Fenomena disebut parallel structure karena alur arus uang dari bawah ke atas ini sejajar dengan alur arus uang formal yang berupa pajak-pajak. Bedanya, parallel structure ini tidak transparan, tidak akuntabel dan bahkan entah masuk ke mana. Jika parallel structure menjadi lebih besar daripada uang legal yang mengalir ke kas negara, maka otoritas negara/pemerintah menjadi lemah vis-a-vis kekuatan uang gelap. Ini merupakan salah satu ciri ’negara gagal.’
Lantas bagaimana?
Oleh karena itu pemerintah harus secara strategis mengupayakan peluang bagi kaum miskin untuk dapat hidup secara lebih layak di dalam kota. Kementerian Negara Perumahan Rakyat memang sedang giat mewujudkan pembangunan rumah susun 1000 menara di kota-kota besar di Indonesia. Namun, meski subsidi akan membantu kaum miskin untuk masuk ke dalam rusun tersebut, kemampuan kaum miskin untuk membiayai perawatan dan operasionalnya masih diragukan. Apakah harus disubsidi terus menerus (menjadi semacam perumahan sosial)? Ataukah ada cara lain yang dapat meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi mereka sehingga suatu saat mampu memeliharanya sendiri.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya perbaikan kampung-kampung kota. Adalah sedikit ironis melihat kenyataan bahwa program Baan Mankong di Thailand, yang dulu belajar dari program Kampung Improvement Program di Jakarta sekarang justru menjadi kiblat bagi kita untuk belajar bagaimana memperbaiki kehidupan mereka-mereka yang tinggal diperkampungan kumuh kota. Pun harus didukung upaya multi-pihak untuk mewujudkan apa yang disebut Housing Resource Center atau Baledaya Perumahan yang ditujukan untuk membantu pembangunan perumahan secara swadaya tapi tertata dengan baik.
Persoalan pengadaan lahan memang yang paling rumit dan bisa menjadi kendala bagi berbagai program pemerintah yang ada. Apalagi pemerintah terlanjur tidak mempersiapkan secara khusus bank-lahan (land bank) sebelum harga lahan menjadi mahal. Namun sebenarnya masih cukup banyak lahan-lahan milik negara yang bisa dimanfaatkan bagi tempat tinggal kaum miskin secara intensif, terencana dan tertata. Spekulasi lahan bisa dimitigasi dengan menerapkan disinsentif fiskal atau pajak progresif bagi mereka yang menyimpan lahan hanya untuk dijual kembali tanpa melakukan perbaikan apa-apa.
Akhir kata, hanya dengan memberikan peluang bagi semua pihak untuk dapat tinggal di dekat sumber-sumber nafkahlah kota yang berkeadilan dapat diwujudkan. Harapannya, jika warga dari berbagai latar-belakang sosial-ekonomi bisa hidup berdampingan secara rukun (tanpa ‘ketegangan’ atau kesalingcurigaan) maka kota akan menjadi lebih aman, manusia menjadi lebih produktif, bangsa menjadi lebih maju. Moga-moga.
Tiga Aras Permasalahan dalam Produksi Ruang Kota
[Telah dipublikasikan di Kiprah, Volume 19/VI, Januari - Februari 2007]
Menuju Bangsa Urban
Banjir yang masih selalu melanda kota-kota besar kita menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya sadar bahwa kita sebentar lagi akan menjadi sebuah “bangsa urban” (urbanized nation) di mana penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan lebih banyak daripada penduduk yang tinggal di kawasan perdesaan. Walaupun proses urbanisasi berlangsung secara gradual dan telah berlangsung lama, menjadi bangsa urban akan membawa konsekuensi sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik yang tidak kecil. Dan kita harus siap untuk menjalani kehidupan kota yang tidak sekedar dari sisi gaya dan hura-hura!
Dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di kota, maka kebutuhan akan ruang kota juga semakin meningkat. Satu hal yang harus diperhatikan secara serius dalam hal ini adalah bagaimana ruang kota tersebut ‘diproduksi’ atau diadakan dan apa dampak sosial-ekonomi dari proses-proses tersebut. Pendekatan yang tepat dalam proses atau modus produksi (modes of production) ruang kota dapat dianggap sebagai bagian dari upaya pembangunan kota yang berkelanjutan. Dan di era global yang semakin kompetitif ini, peran kota dalam pembangunan nasional sangat penting. Negara dengan kota-kota yang berfungsi secara baik akan lebih mudah menarik investor berkualitas serta memberi kesempatan yang lebih baik bagi warganya untuk meningkatkan kesejahteraannya, sebuah kondisi yang pada gilirannya akan mendorong pembangunan ekonomi lokal maupun nasional secara berkelanjutan.
Modus Produksi Ruang Kota
Dalam bukunya “[Menyiasati] Kota Tanpa Warga” (2006), Jo Santoso memperkirakan Indonesia membutuhkan rata-rata 50.000 hektar ruang kota per tahun selama kurun 2000-2010 untuk menampung pertambahan penduduk urban sekitar 3,0 – 3,5 juta per tahun. Kita mungkin bisa memperdebatkan angka ini maupun asumsi-asumsi di belakangnya, namun bagaimanapun memang setiap tahun dibutuhkan ruang kota baru yang sangat besar untuk menampung penghuni kota yang baru—baik yang datang dari kawasan perdesaan maupun yang memang dilahirkan di kota (akibat pertumbuhan natural).
Untuk menampung pertambahan penduduk urban baru yang sangat banyak tersebut, setidaknya terdapat tiga jenis respon perubahan ruang kota: (i) pertumbuhan horisontal, yaitu ekspansi ke kawasan yang tadinya perdesaan, (ii) pertumbuhan vertikal, yaitu ekspansi ke atas dengan pembangunan vertikal, (iii) proses pemadatan (densifikasi atau subdivisi) bagian-bagian kota yang sudah ada. Pertumbuhannya pun bisa bersifat formal (di atas lahan legal, terencana, sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan yang ada) namun bisa pula bersifat informal (penguasaan lahan tanpa legalitas, tidak terencana serta tidak sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan terkait lainnya).
Pengamatan lebih lanjut terhadap modus pembentukan ruang kota menunjukkan pengaruh yang sangat kuat dari liberalisasi tata-kelola pemerintahan yang berlangsung secara global. Dengan berdiri kokohnya paradigma ekonomi kapitalisme dan “saudara kembarnya” filosofi sosio-politik liberal di mana pemerintah diharapkan untuk tidak terlalu banyak campur tangan, hanya bertindak sebagai “regulator” (bukan lagi “fasilitator”, apalagi “provider”) namun dilaksanakan di tengah-tengah iklim penegakkan hukum yang lemah serta tata-kelola yang memberi peluang praktek-praktek kolutif dan koruptif, maka modus pembentukan ruang-ruang kota pun dipengaruhi oleh paradigma ini.
Kombinasi dari pengamatan-pengamatan di atas, maka ruang kota kita umumnya terbentuk melalui proses-proses: (i) perubahan guna lahan dari fungsi non-perkotaan ke fungsi perkotaan atau perubahan kepadatan guna lahan perkotaan yang ada (melalui densifikasi atau subdivisi) secara individual tapi memiliki kadar legalitas ‘memadai,’ walaupun mungkin saja tidak sesuai dengan tata ruang makro ataupun mikro yang ada (dan yang tidak di-enforced), yang kemudian terakumulasi membentuk suatu kawasan yang tidak terencana tapi relatif legal; (ii) perubahan yang sama tetapi dilakukan secara ‘block’ oleh pengembang yang telah mengantongi legalitas untuk beroperasi, terkadang dengan harus mengubah tata ruang makro yang sudah ada lebih dahulu namun kurang/tidak sesuai dengan tuntutan bisnis sang pengembang; (iii) perubahan guna lahan secara spontan dan illegal, seringkali diakibatkan oleh faktor keterbatasan sosial-ekonomi, pada lahan-lahan publik, milik negara, milik korporasi atau individu yang tidak diawasi dalam kurun waktu yang cukup lama (seperti yang terjadi di sepanjang bantaran sungai, jalur hijau, lahan tidur dan bahkan kolong jembatan). Modus keempat, yaitu kawasan yang berkembang secara terencana sesuai dengan tata ruang makro yang ada (misalnya Kebayoran Baru atau sebagian—tapi tidak semua—kota-kota baru yang menjamur di sekitar Jabodetabek) boleh dibilang minoritas!
Yang terjadi adalah kota-kota yang kita lihat dan tinggali sehari-hari: semrawut, individualis dan miskin ruang publik. Dalam situasi seperti itu, memang sangat “natural” bahwa ruang publik akan menjadi korban. Tiga dasa-warsa yang lalu Garret Hardin (1968) telah mengingatkan kita tentang fenomena yang dinamakannya “The Tragedy of the Commons” di mana ruang publik akan menjadi korban kepentingan-kepentingan pribadi jika tidak ada aturan pemakaiannya.[1]
Kemudian, ahli geografi perkotaan, John Rennie Short (1996) juga telah mengingatkan problematika yang secara inherent menempel pada kota-kota yang semakin kapitalistik, yaitu fenomena yang dia sebut—merujuk pada apa yang dipelajari oleh Frederick Engels kurang lebih satu setengah abad yang lalu—sebagai “The Paradox of the Capitalist City”: sebuah ko-eksistensi dua hal yang sangat bertentangan. “Kota” pada dasarnya adalah sebuah “shared space” sedangkan “kapitalisme” pada dasarnya adalah “individual profits”. Akibatnya, yang terjadi adalah ketegangan terus menerus dan pertempuran perebutan ruang kota antara mereka yang punya uang (dan kekuasaan) dan mereka yang “bonek” (“bondo-nekat” atau hanya bermodalkan nekat, berani pasang badan, akibat dari keterdesakkan yang dialaminya).
Tiga Aras Persoalan
Dengan modus produksi ruang kota seperti diuraikan secara ringkas di atas, maka terjadi akumulasi persoalan yang sangat kompleks. Kalau pengelola kota tidak mampu menguraikan persoalan-persoalan tersebut secara lebih sistematis, maka kita akan selalu dihadapi persoalan yang tidak berkesudahan, bahkan kadang-kadang seperti “running in circle” (berputar-putar pada persoalan yang sama dari waktu-ke-waktu) seperti persoalan banjir besar di kawasan Jabodetabek yang kita hadapi setiap lima tahun.
Oleh karena itu, adalah penting untuk menyadari bahwa proses penyediaan ruang kota kita—seperti juga setiap persoalan besar lain—memiliki tiga aras (tingkatan) persoalan, yaitu persoalan-persoalan praktikal yang mudah dilihat, dirasakan atau dicerna oleh logika sederaha, persoalan-persoalan sistemik yang menyangkut aspek kelembagaan, kebijakan, sistem tata-kelola, sistem tata-ruang dan lain-lain yang tentunya lebih tidak mudah dilihat atau dirasakan, serta persoalan-persoalan paradigmatik, yaitu yang menyangkut cara-pandang atau cara-berpikir kita, khususnya dalam melihat posisi manusia dan lingkungannya. Cara pandang ini (khususnya yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta/pengembang terkait) kemudian akan mempengaruhi sistem yang ada dan pada ujungnya akan mempengaruhi praktek-praktek pembuatan ruang kota.
Persoalan-persoalan praktikal (seperti bagaimana menyediakan, merancang dan mengembangkan ruang kota baru secara baik; atau bagaimana merancang jalur pedestrian yang tetap dapat menampung pedagang kaki lima) sudah cukup banyak dibahas. Demikian pula persoalan-persoalan sistemik (seperti bagaimana menyusun tata-kelola kota yang efisien, transparan, partisipatif, akuntable, efektif dan responsif; atau bagaimana alokasi ruang kota agar pelaku kegiatan ekonomi informal masih dapat melakukan aktifitasnya tanpa mengganggu pengguna kota lainnya) juga sudah cukup sering dibahas.
Yang secara khusus ingin diingatkan melalui tulisan ini adalah adanya persoalan paradigmatik yang sangat penting walau tidak kasat mata. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa proses globalisasi (yang juga membawa globalisasi nilai-nilai) telah membuat banyak pemerintah (kota maupun nasional) harus mereposisi perannya. Jika di era sebelum 1980-an pemerintah umumnya memegang kendali dalam berbagai aspek pembangunan, maka di era 1990-an pihak swasta mulai berperan sangat besar (termasuk membangun kota-kota baru hampir sepenuhnya oleh swasta); kemudian di era setelah itu masyarakat madani menuntut untuk juga memiliki peran dalam proses-proses pengadaan ruang kota. Yang terjadi kemudian banyak pemerintah kota (tidak hanya di Indonesia, tetapi dala konteks tulisan ini khususnya di Indonesia) yang kemudian “gamang,” tidak merasa yakin bagaimana harus berperan secara tepat.
Kota-kota yang beruntung memiliki kepemimpinan lokal yang kuat dan berorientasi kepada kepentingan publik akan cepat bertindak mengambil manfaat dari proses desentralisasi dan globalisasi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan warganya. Namun lebih banyak kota-kota yang pemerintahnya “withdraws from its responsibilities” dan praktis bisa dikatakan “menyerahkan” proses-proses pembentukan ruang kota ini kepada masyarakat dan swasta. Dalam situasi seperti ini maka fenomena “Tragedy of the Commons” dan “Paradox of the Capitalist City” menjadi semakin mengental dan akibatnya akan ada yang dikorbankan: mereka yang tidak memiliki uang (kekuasaan) atau keberanian untuk “nekat” akan tersingkir ke pinggiran kota. Ruang publik pun akan semakin menghilang, digantikan oleh ruang-ruang “semi publik” yang dimiliki oleh korporasi (seperti ruang-ruang di dalam “mall”)
Penutup
Harus diakui, kajian ini masih memerlukan pendalaman. Namun setidaknya sudah terlihat adanya persoalan yang lebih mendasar dalam cara-cara kita menyediakan ruang kota guna menampung proses urbanisasi yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesadaran akan adanya masalah mendasar dan paradigmatik ini merupakan langkah awal untuk mencoba secara bersama-sama mencari solusinya. Jika proses mencari solusi bersama ini bisa dijalankan secara terus-menerus oleh pemerintah (pusat dan kota) bersama-sama dengan warganya, maka bisa diharapkan kota-kota kita suatu saat menjadi kota-kota yang nyaman ditinggali (livable), ramah lingkungan dan berkelanjutan.
[1] Solusi yang diusulkan Hardin dalam mengatasi fenomena “The Tragedy of the Commons” ada dua: (i) privatisasi (bila mungkin) karena dengan demikian masing-masing pemakai akan bertanggung-jawab terhadap ruangnya sendiri-sendiri, atau (ii) apa yang disebut “mutually agreed-upon coercion” atau pembatasan terhadap diri masing-masing pemakai yang disetujui bersama. Untuk ruang-ruang kota yang tidak selalu bisa diprivatisasi maka pendekatan kedua adalah yang paling tepat: peraturan yang ditegakkan.
Menuju Bangsa Urban
Banjir yang masih selalu melanda kota-kota besar kita menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya sadar bahwa kita sebentar lagi akan menjadi sebuah “bangsa urban” (urbanized nation) di mana penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan lebih banyak daripada penduduk yang tinggal di kawasan perdesaan. Walaupun proses urbanisasi berlangsung secara gradual dan telah berlangsung lama, menjadi bangsa urban akan membawa konsekuensi sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik yang tidak kecil. Dan kita harus siap untuk menjalani kehidupan kota yang tidak sekedar dari sisi gaya dan hura-hura!
Dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di kota, maka kebutuhan akan ruang kota juga semakin meningkat. Satu hal yang harus diperhatikan secara serius dalam hal ini adalah bagaimana ruang kota tersebut ‘diproduksi’ atau diadakan dan apa dampak sosial-ekonomi dari proses-proses tersebut. Pendekatan yang tepat dalam proses atau modus produksi (modes of production) ruang kota dapat dianggap sebagai bagian dari upaya pembangunan kota yang berkelanjutan. Dan di era global yang semakin kompetitif ini, peran kota dalam pembangunan nasional sangat penting. Negara dengan kota-kota yang berfungsi secara baik akan lebih mudah menarik investor berkualitas serta memberi kesempatan yang lebih baik bagi warganya untuk meningkatkan kesejahteraannya, sebuah kondisi yang pada gilirannya akan mendorong pembangunan ekonomi lokal maupun nasional secara berkelanjutan.
Modus Produksi Ruang Kota
Dalam bukunya “[Menyiasati] Kota Tanpa Warga” (2006), Jo Santoso memperkirakan Indonesia membutuhkan rata-rata 50.000 hektar ruang kota per tahun selama kurun 2000-2010 untuk menampung pertambahan penduduk urban sekitar 3,0 – 3,5 juta per tahun. Kita mungkin bisa memperdebatkan angka ini maupun asumsi-asumsi di belakangnya, namun bagaimanapun memang setiap tahun dibutuhkan ruang kota baru yang sangat besar untuk menampung penghuni kota yang baru—baik yang datang dari kawasan perdesaan maupun yang memang dilahirkan di kota (akibat pertumbuhan natural).
Untuk menampung pertambahan penduduk urban baru yang sangat banyak tersebut, setidaknya terdapat tiga jenis respon perubahan ruang kota: (i) pertumbuhan horisontal, yaitu ekspansi ke kawasan yang tadinya perdesaan, (ii) pertumbuhan vertikal, yaitu ekspansi ke atas dengan pembangunan vertikal, (iii) proses pemadatan (densifikasi atau subdivisi) bagian-bagian kota yang sudah ada. Pertumbuhannya pun bisa bersifat formal (di atas lahan legal, terencana, sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan yang ada) namun bisa pula bersifat informal (penguasaan lahan tanpa legalitas, tidak terencana serta tidak sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan terkait lainnya).
Pengamatan lebih lanjut terhadap modus pembentukan ruang kota menunjukkan pengaruh yang sangat kuat dari liberalisasi tata-kelola pemerintahan yang berlangsung secara global. Dengan berdiri kokohnya paradigma ekonomi kapitalisme dan “saudara kembarnya” filosofi sosio-politik liberal di mana pemerintah diharapkan untuk tidak terlalu banyak campur tangan, hanya bertindak sebagai “regulator” (bukan lagi “fasilitator”, apalagi “provider”) namun dilaksanakan di tengah-tengah iklim penegakkan hukum yang lemah serta tata-kelola yang memberi peluang praktek-praktek kolutif dan koruptif, maka modus pembentukan ruang-ruang kota pun dipengaruhi oleh paradigma ini.
Kombinasi dari pengamatan-pengamatan di atas, maka ruang kota kita umumnya terbentuk melalui proses-proses: (i) perubahan guna lahan dari fungsi non-perkotaan ke fungsi perkotaan atau perubahan kepadatan guna lahan perkotaan yang ada (melalui densifikasi atau subdivisi) secara individual tapi memiliki kadar legalitas ‘memadai,’ walaupun mungkin saja tidak sesuai dengan tata ruang makro ataupun mikro yang ada (dan yang tidak di-enforced), yang kemudian terakumulasi membentuk suatu kawasan yang tidak terencana tapi relatif legal; (ii) perubahan yang sama tetapi dilakukan secara ‘block’ oleh pengembang yang telah mengantongi legalitas untuk beroperasi, terkadang dengan harus mengubah tata ruang makro yang sudah ada lebih dahulu namun kurang/tidak sesuai dengan tuntutan bisnis sang pengembang; (iii) perubahan guna lahan secara spontan dan illegal, seringkali diakibatkan oleh faktor keterbatasan sosial-ekonomi, pada lahan-lahan publik, milik negara, milik korporasi atau individu yang tidak diawasi dalam kurun waktu yang cukup lama (seperti yang terjadi di sepanjang bantaran sungai, jalur hijau, lahan tidur dan bahkan kolong jembatan). Modus keempat, yaitu kawasan yang berkembang secara terencana sesuai dengan tata ruang makro yang ada (misalnya Kebayoran Baru atau sebagian—tapi tidak semua—kota-kota baru yang menjamur di sekitar Jabodetabek) boleh dibilang minoritas!
Yang terjadi adalah kota-kota yang kita lihat dan tinggali sehari-hari: semrawut, individualis dan miskin ruang publik. Dalam situasi seperti itu, memang sangat “natural” bahwa ruang publik akan menjadi korban. Tiga dasa-warsa yang lalu Garret Hardin (1968) telah mengingatkan kita tentang fenomena yang dinamakannya “The Tragedy of the Commons” di mana ruang publik akan menjadi korban kepentingan-kepentingan pribadi jika tidak ada aturan pemakaiannya.[1]
Kemudian, ahli geografi perkotaan, John Rennie Short (1996) juga telah mengingatkan problematika yang secara inherent menempel pada kota-kota yang semakin kapitalistik, yaitu fenomena yang dia sebut—merujuk pada apa yang dipelajari oleh Frederick Engels kurang lebih satu setengah abad yang lalu—sebagai “The Paradox of the Capitalist City”: sebuah ko-eksistensi dua hal yang sangat bertentangan. “Kota” pada dasarnya adalah sebuah “shared space” sedangkan “kapitalisme” pada dasarnya adalah “individual profits”. Akibatnya, yang terjadi adalah ketegangan terus menerus dan pertempuran perebutan ruang kota antara mereka yang punya uang (dan kekuasaan) dan mereka yang “bonek” (“bondo-nekat” atau hanya bermodalkan nekat, berani pasang badan, akibat dari keterdesakkan yang dialaminya).
Tiga Aras Persoalan
Dengan modus produksi ruang kota seperti diuraikan secara ringkas di atas, maka terjadi akumulasi persoalan yang sangat kompleks. Kalau pengelola kota tidak mampu menguraikan persoalan-persoalan tersebut secara lebih sistematis, maka kita akan selalu dihadapi persoalan yang tidak berkesudahan, bahkan kadang-kadang seperti “running in circle” (berputar-putar pada persoalan yang sama dari waktu-ke-waktu) seperti persoalan banjir besar di kawasan Jabodetabek yang kita hadapi setiap lima tahun.
Oleh karena itu, adalah penting untuk menyadari bahwa proses penyediaan ruang kota kita—seperti juga setiap persoalan besar lain—memiliki tiga aras (tingkatan) persoalan, yaitu persoalan-persoalan praktikal yang mudah dilihat, dirasakan atau dicerna oleh logika sederaha, persoalan-persoalan sistemik yang menyangkut aspek kelembagaan, kebijakan, sistem tata-kelola, sistem tata-ruang dan lain-lain yang tentunya lebih tidak mudah dilihat atau dirasakan, serta persoalan-persoalan paradigmatik, yaitu yang menyangkut cara-pandang atau cara-berpikir kita, khususnya dalam melihat posisi manusia dan lingkungannya. Cara pandang ini (khususnya yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta/pengembang terkait) kemudian akan mempengaruhi sistem yang ada dan pada ujungnya akan mempengaruhi praktek-praktek pembuatan ruang kota.
Persoalan-persoalan praktikal (seperti bagaimana menyediakan, merancang dan mengembangkan ruang kota baru secara baik; atau bagaimana merancang jalur pedestrian yang tetap dapat menampung pedagang kaki lima) sudah cukup banyak dibahas. Demikian pula persoalan-persoalan sistemik (seperti bagaimana menyusun tata-kelola kota yang efisien, transparan, partisipatif, akuntable, efektif dan responsif; atau bagaimana alokasi ruang kota agar pelaku kegiatan ekonomi informal masih dapat melakukan aktifitasnya tanpa mengganggu pengguna kota lainnya) juga sudah cukup sering dibahas.
Yang secara khusus ingin diingatkan melalui tulisan ini adalah adanya persoalan paradigmatik yang sangat penting walau tidak kasat mata. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa proses globalisasi (yang juga membawa globalisasi nilai-nilai) telah membuat banyak pemerintah (kota maupun nasional) harus mereposisi perannya. Jika di era sebelum 1980-an pemerintah umumnya memegang kendali dalam berbagai aspek pembangunan, maka di era 1990-an pihak swasta mulai berperan sangat besar (termasuk membangun kota-kota baru hampir sepenuhnya oleh swasta); kemudian di era setelah itu masyarakat madani menuntut untuk juga memiliki peran dalam proses-proses pengadaan ruang kota. Yang terjadi kemudian banyak pemerintah kota (tidak hanya di Indonesia, tetapi dala konteks tulisan ini khususnya di Indonesia) yang kemudian “gamang,” tidak merasa yakin bagaimana harus berperan secara tepat.
Kota-kota yang beruntung memiliki kepemimpinan lokal yang kuat dan berorientasi kepada kepentingan publik akan cepat bertindak mengambil manfaat dari proses desentralisasi dan globalisasi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan warganya. Namun lebih banyak kota-kota yang pemerintahnya “withdraws from its responsibilities” dan praktis bisa dikatakan “menyerahkan” proses-proses pembentukan ruang kota ini kepada masyarakat dan swasta. Dalam situasi seperti ini maka fenomena “Tragedy of the Commons” dan “Paradox of the Capitalist City” menjadi semakin mengental dan akibatnya akan ada yang dikorbankan: mereka yang tidak memiliki uang (kekuasaan) atau keberanian untuk “nekat” akan tersingkir ke pinggiran kota. Ruang publik pun akan semakin menghilang, digantikan oleh ruang-ruang “semi publik” yang dimiliki oleh korporasi (seperti ruang-ruang di dalam “mall”)
Penutup
Harus diakui, kajian ini masih memerlukan pendalaman. Namun setidaknya sudah terlihat adanya persoalan yang lebih mendasar dalam cara-cara kita menyediakan ruang kota guna menampung proses urbanisasi yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesadaran akan adanya masalah mendasar dan paradigmatik ini merupakan langkah awal untuk mencoba secara bersama-sama mencari solusinya. Jika proses mencari solusi bersama ini bisa dijalankan secara terus-menerus oleh pemerintah (pusat dan kota) bersama-sama dengan warganya, maka bisa diharapkan kota-kota kita suatu saat menjadi kota-kota yang nyaman ditinggali (livable), ramah lingkungan dan berkelanjutan.
[1] Solusi yang diusulkan Hardin dalam mengatasi fenomena “The Tragedy of the Commons” ada dua: (i) privatisasi (bila mungkin) karena dengan demikian masing-masing pemakai akan bertanggung-jawab terhadap ruangnya sendiri-sendiri, atau (ii) apa yang disebut “mutually agreed-upon coercion” atau pembatasan terhadap diri masing-masing pemakai yang disetujui bersama. Untuk ruang-ruang kota yang tidak selalu bisa diprivatisasi maka pendekatan kedua adalah yang paling tepat: peraturan yang ditegakkan.
Monday, January 5, 2009
Tuesday, April 22, 2008
Comparing Singapore to Jakarta is Like Comparing Apple to Durian
I am amazed that some media and some people keep publishing comparisons between Singapore and Jakarta. When I read one of the articles, well it was fine and fun. But then, when the second, the third and so on got published, I thought it is too much already! No, it’s not about the quality of the writing because in fact I did enjoy some of those articles. It is the unfairness and the un-usefullness of such a comparison that got me writing this opinion piece with the hope that this would be the last of its kind.
One article in the Jakarta Post last year spoke about Singapore as a world away from Jakarta despite being only a stone throw from the latter. Singapore is clean and lives are orderly. Jakarta is filthy and lives are unpredictable. Another article, also in Jakarta Post late last year elaborated further on the issue of security: Singapore is predictably safe while safety in Jakarta is always questionable. The former is also seen as very clever in attracting tourists (of whom Indonesians made up 20 percent) while the latter—and the whole country as well—is said to be incompetent and clumsy in promoting its abundant tourism potentials. All true, I agree. But then so what?
Of course there are some things that Jakarta can learn from Singapore. But the problems in Jakarta—with no less than 14 million people, a great many of whom are under-educated poor, and is surrounded by a vast hinterland that is ready to send even more poor people to the capital city—are much more multifaceted and complicated than those faced by Singapore, a strategically-located yet physically-secluded city-island-state of 4.5 million people that can easily select whom they want to welcome or invite (the rich and the bright, of course!).
Yes, Singapore and Jakarta are similarly multicultural (although the cultural compositions are different), but Jakarta population is much more multilayered, income-wise and education-wise. Moreover, in an increasingly democratic Indonesia, Jakarta gives more room for differences in opinions and interests, even though eventually it is always the powerful that prevails.
The word “power” however should be seen in a broadest sense because even the poor, collectively, have power (at least to brand the government as insensitive, for example). To borrow the words of recently visiting Professor Abdoumaliq Simone of the University of London, the rich of Jakarta has increasingly shown “the power to waste,” while at the same time the poor has exhibited “the power to wound.” What an irony in a place where resources are always scarce!
Thus, in Jakarta almost every attempt to turn a stone will certainly face strong objections from at least one section of the society, be they the poor who lived under the toll-road structures, the people (not necessarily poor nor disabled) who beg on the streets, the land-owners/occupiers who want to profit from every government project or the rich of Pondok Indah neighborhood. It does not matter whether the objections are justified, simply selfish or, worse, blatantly opportunistic.
In addition, Jakarta has no right whatsoever to say no to people coming from other parts of Indonesia, be they forced by rural poverty, seeking better education, hunting for job opportunities or simply wanting to see the “big village.” In fact, constitutionally Jakarta is obliged to take care of its poor dwellers, although in reality these poor people are left to compete in the urban market with the not-so-poor, the barely middle-income and even the rich in getting a little hold of any urban space needed for them to survive. This results in continuous tensions that are inexistent in the generally prosperous city-state of Singapore.
Those differences alone (and there are many more) have made it difficult to simply adopt whatever is working very well in Singapore to Jakarta. Therefore, comparing Singapore and Jakarta is not a useful apple-to-apple comparison. I would rather see it as an apple-to-durian comparison that gives little lessons for Jakarta to learn and to improve. Analogically, apple is healthy but somewhat boring for sensation-seekers while durian is stimulating, smelly and unpredictable but can also be treacherous for some people. It is apt to this analogy that durian is said to be forbidden in many parts of Singapore!
Here, I am not arguing that nothing can be learned from Singapore for the betterment of Jakarta (there are a lot). But comparing both cities only on what are seen on the surface, without going into the roots of the differences and only from a certain cultural viewpoint—especially from a culture that sees “chaos” only as the opposite of “order,” forgetting that there are actually “patterns” even in chaotic situations—has very little value.
I understand that in the first article I mentioned in the beginning, the author only wanted to point—and even celebrate—the big differences of two cities in a close proximity. Meanwhile in the second article, the second author wanted to see a safer and more tourist-attracting Jakarta. Yet, again, comparing apple to durian never comes to a fair and therefore acceptable conclusion. Despite the authors’ good intensions, the articles are actually an unfairly bad tourist-promotion for Jakarta that is actually still struggling to cope with the post-crisis political-economic transformations and that actually contains a beauty inside its chaotic surface—only if we can see it.
Therefore, to compare in an apple-to-apple (or more correctly, durian-to-durian) fashion, Jakarta is best compared to cities of “its class”: those that have somewhat similar socio-economic and demographic conditions such as Manila, Bangkok, Dhaka, Karachi, Lagos and Kolkata and other megacities (cities with more than 10 million inhabitants) in the developing world. In this way, Jakarta is not doing very badly. This is no reason whatsoever for complacency. In some areas like public transportation, traffic-congestion and housing, Jakarta has a lot to catch up.
What about safety? In this regard, Singapore is exceptional not only when compared to Jakarta but also among major cities in the world. Moreover, safety—or more accurately, the sense of safety—is actually a socially-constructed concept. Accordingly there are two types of safety: real and perceived. The latter often distorts the former when it is seen from the rich and orderly viewpoint toward a poor and somewhat chaotic atmosphere (and the other way around as well).
Familiarity to the surrounding people and environment does also count. If you know the people, you will feel much safer to be within a slum community in Jakarta at night (many of the kampungs are 24 hours) than, say, walking in the downtowns of New York, Los Angeles or some other megacities of the world. At least in Jakarta no legal visitor has ever been beaten in the middle of the night by a group of plain-clothed police mistakenly thought the visitor were illegal worker—something that happened last year to a visiting Indonesian sport-judge in Kuala Lumpur.
One article in the Jakarta Post last year spoke about Singapore as a world away from Jakarta despite being only a stone throw from the latter. Singapore is clean and lives are orderly. Jakarta is filthy and lives are unpredictable. Another article, also in Jakarta Post late last year elaborated further on the issue of security: Singapore is predictably safe while safety in Jakarta is always questionable. The former is also seen as very clever in attracting tourists (of whom Indonesians made up 20 percent) while the latter—and the whole country as well—is said to be incompetent and clumsy in promoting its abundant tourism potentials. All true, I agree. But then so what?
Of course there are some things that Jakarta can learn from Singapore. But the problems in Jakarta—with no less than 14 million people, a great many of whom are under-educated poor, and is surrounded by a vast hinterland that is ready to send even more poor people to the capital city—are much more multifaceted and complicated than those faced by Singapore, a strategically-located yet physically-secluded city-island-state of 4.5 million people that can easily select whom they want to welcome or invite (the rich and the bright, of course!).
Yes, Singapore and Jakarta are similarly multicultural (although the cultural compositions are different), but Jakarta population is much more multilayered, income-wise and education-wise. Moreover, in an increasingly democratic Indonesia, Jakarta gives more room for differences in opinions and interests, even though eventually it is always the powerful that prevails.
The word “power” however should be seen in a broadest sense because even the poor, collectively, have power (at least to brand the government as insensitive, for example). To borrow the words of recently visiting Professor Abdoumaliq Simone of the University of London, the rich of Jakarta has increasingly shown “the power to waste,” while at the same time the poor has exhibited “the power to wound.” What an irony in a place where resources are always scarce!
Thus, in Jakarta almost every attempt to turn a stone will certainly face strong objections from at least one section of the society, be they the poor who lived under the toll-road structures, the people (not necessarily poor nor disabled) who beg on the streets, the land-owners/occupiers who want to profit from every government project or the rich of Pondok Indah neighborhood. It does not matter whether the objections are justified, simply selfish or, worse, blatantly opportunistic.
In addition, Jakarta has no right whatsoever to say no to people coming from other parts of Indonesia, be they forced by rural poverty, seeking better education, hunting for job opportunities or simply wanting to see the “big village.” In fact, constitutionally Jakarta is obliged to take care of its poor dwellers, although in reality these poor people are left to compete in the urban market with the not-so-poor, the barely middle-income and even the rich in getting a little hold of any urban space needed for them to survive. This results in continuous tensions that are inexistent in the generally prosperous city-state of Singapore.
Those differences alone (and there are many more) have made it difficult to simply adopt whatever is working very well in Singapore to Jakarta. Therefore, comparing Singapore and Jakarta is not a useful apple-to-apple comparison. I would rather see it as an apple-to-durian comparison that gives little lessons for Jakarta to learn and to improve. Analogically, apple is healthy but somewhat boring for sensation-seekers while durian is stimulating, smelly and unpredictable but can also be treacherous for some people. It is apt to this analogy that durian is said to be forbidden in many parts of Singapore!
Here, I am not arguing that nothing can be learned from Singapore for the betterment of Jakarta (there are a lot). But comparing both cities only on what are seen on the surface, without going into the roots of the differences and only from a certain cultural viewpoint—especially from a culture that sees “chaos” only as the opposite of “order,” forgetting that there are actually “patterns” even in chaotic situations—has very little value.
I understand that in the first article I mentioned in the beginning, the author only wanted to point—and even celebrate—the big differences of two cities in a close proximity. Meanwhile in the second article, the second author wanted to see a safer and more tourist-attracting Jakarta. Yet, again, comparing apple to durian never comes to a fair and therefore acceptable conclusion. Despite the authors’ good intensions, the articles are actually an unfairly bad tourist-promotion for Jakarta that is actually still struggling to cope with the post-crisis political-economic transformations and that actually contains a beauty inside its chaotic surface—only if we can see it.
Therefore, to compare in an apple-to-apple (or more correctly, durian-to-durian) fashion, Jakarta is best compared to cities of “its class”: those that have somewhat similar socio-economic and demographic conditions such as Manila, Bangkok, Dhaka, Karachi, Lagos and Kolkata and other megacities (cities with more than 10 million inhabitants) in the developing world. In this way, Jakarta is not doing very badly. This is no reason whatsoever for complacency. In some areas like public transportation, traffic-congestion and housing, Jakarta has a lot to catch up.
What about safety? In this regard, Singapore is exceptional not only when compared to Jakarta but also among major cities in the world. Moreover, safety—or more accurately, the sense of safety—is actually a socially-constructed concept. Accordingly there are two types of safety: real and perceived. The latter often distorts the former when it is seen from the rich and orderly viewpoint toward a poor and somewhat chaotic atmosphere (and the other way around as well).
Familiarity to the surrounding people and environment does also count. If you know the people, you will feel much safer to be within a slum community in Jakarta at night (many of the kampungs are 24 hours) than, say, walking in the downtowns of New York, Los Angeles or some other megacities of the world. At least in Jakarta no legal visitor has ever been beaten in the middle of the night by a group of plain-clothed police mistakenly thought the visitor were illegal worker—something that happened last year to a visiting Indonesian sport-judge in Kuala Lumpur.
Thursday, September 6, 2007
Aksi Lokal yang Mengampu Kesepakatan Global
(Also published on Koran Seputar Indonesia, 26 Agustus 2007)
Semakin gencar gaung Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) ke daerah-daerah, semakin sering pula pertanyaan ini muncul: ”MDGs itu kepentingan siapa?” Masih banyak yang berpendapat bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang hendak ”dipaksakan” untuk dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini terungkap ketika penulis terlibat dalam loka-latih penerapan Kartu Penilaian Warga (Citizen Report Card) untuk Pencapaian MDGs di Kota Sukabumi beberapa bulan yang lalu dan di Bali beberapa hari yang lalu.
Di Kota Sukabumi—yang notabene pemerintahnya pernah menyelenggarakan kampanye ”Standup Against Poverty”—seorang peserta loka-latih tersebut mengaku bahwa pada awalnya dia memiliki praduga demikian. Namun setelah mengikuti proses pengisian Kartu Penilaian yang bersifat partisipatif, yang bersangkutan akhirnya menyadari bahwa pokok-pokok persoalan yang ada dalam MDGs sebenarnya adalah persoalan sehari-hari dihadapi oleh daerah dan bahkan oleh komunitas dan sebagian individu. Setidaknya ada satu peserta lain yang kemudian juga mengaku mengalami perubahan pemahaman yang sama tentang MDGs setelah mengikuti acara loka-latih tersebut. Kemudian, ketika cerita ini penulis sampaikan dalam suatu loka-latih sejenis di Denpasar (untuk Propinsi Bali) baru-baru ini, beberapa peserta memperlihatkan gesture yang menunjukkan mereka juga memiliki praduga yang sama. Sementara sebagian peserta lain bahkan belum pernah mendengar apa itu MDGs.
Memang praduga bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang di-”imposed” kepada daerah sangat wajar muncul mengingat MDGs memang merupakan hasil dari pertemuan para pemimpin dunia menjelang Abad ke-21 atau sering juga disebut Abad Milenium. Dengan melihat masih banyaknya penduduk di muka bumi ini yang hidup di tengah kemiskinan, tidak menikmati pendidikan dan layanan kesehatan serta tinggal di lingkungan yang tidak layak huni, para pemimpin tersebut merasa bahwa upaya-upaya meningkatkan kualitas pembangunan yang telah dilakukan hingga tahun 2000 masih kurang efektif.
Oleh karenanya dicetuskan pendekatan pembangunan yang tidak didominasi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi lebih menekankan pada pembangunan manusia. Agar efektif, pendekatan pembangunan ini kemudian disertai dengan target-target yang jelas, terukur dan terikat waktu (time-bound).
Para pemimpin dunia tersebut selanjutnya menetapkan delapan tujuan utama (goals) yang diuraikan ke dalam 18 target terinci mencakup aspek kemiskinan, pendidikan, gender, kesehatan (termasuk HIV/AIDS yang semakin merebak), keberlanjutan lingkungan serta perbaikan lingkungan permukiman manusia, ditambah dengan komitmen untuk membangun kemitraan (antar-negara maupun antara pemerintah-swasta-warga) agar sumberdaya yang memang tidak tersebar secara merata di muka bumi ini dapat digunakan sebaik-baiknya untuk memastikan tujuan-tujuan mulia tersebut bisa tercapai. Dengan demikian, secara umum diharapkan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrim tidak harus menunggu lebih lama lagi, tetapi dapat terjadi pada generasi sekarang ini.
Namun demikian, komitmen global tersebut tidak akan pernah bisa terwujud jika tidak ada kebijakan dan tindakan yang selaras di tingkat daerah dan komunitas (lokal). Hal ini semakin terasa dengan berlangsungnya gelombang desentralisasi, yang terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan bumi yang lain. Walaupun desentralisasi memiliki tujuan mulia untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan publik kepada warga dan pemangku-kepentingan lainnya, namun dalam kenyataannya fase desentralisasi dan demokrasi yang masih sangat ranum ini banyak ”dibajak” oleh elit lokal untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Jika hal ini dibiarkan, maka MDGs tidak akan tercapai.
Untunglah terdapat daerah-daerah yang secara sungguh-sungguh—tidak hanya dalam kata-kata yang tertuang di dalam rencana pembangunan daerah—telah menjalankan berbagai kebijakan dan tindakan nyata yang ditujukan untuk menghapuskan kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan serta memperbaiki lingkungan alam maupun lingkungan hunian manusia. Hal tersebut selaras dengan Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium walaupun sebagian dari inisiatif positif tersebut tidak secara formal dikaitkan dengan MDGs.
Tindakan-tindakan tersebut umumnya merupakan inisiatif lokal walaupun sebagian ada yang kemudian mendapat dukungan dari pemerintah pusat maupun lembaga internasional.
Untuk menyebutkan sebagian saja inisiatif-inisiatif lokal yang positif tersebut, di bidang pengentasan kemiskinan dapat di lihat pada apa yang sudah dijalankan di Kota Balikpapan, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Deli Serdang, Kota Blitar dan lain-lain. Kota Balikpapan, misalnya, telah menerapkan sebuah filosofi pembangunan ”Sembilan Menggendong Satu” yang artinya adalah tanggung-jawab bersama sembilan puluh persen warga yang termasuk tidak miskin untuk membantu mengentaskan sekitar sepuluh persen penduduk yang masuk dalam kategori miskin. Hal ini kemudian dicerminkan secara konsisten ke dalam penganggaran serta berbagai program-program lain (termasuk beasiswa dan layanan kesehatan gratis bagi kaum miskin).
Di Jembrana, kabupaten yang sebenarnya paling miskin di Propinsi Bali, pemerintah daerah berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran—termasuk secara drastis menggabungkan beberapa sekolah yang utilisasinya rendah—sehingga terdapat ruang anggaran untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nelayan setempat. Dukungan secara khusus kepada komunitas nelayan juga dilakukan di Kabupaten Deli Serdang dan beberapa daerah lain yang memiliki jumlah nelayan secara signifikan. Nelayan seringkali merepresentasi penduduk yang hidup dalam kemiskinan walau telah bekerja sangat keras.
Di bidang pendidikan, contoh inisiatif lokal yang mendukung MDGs dapat dilihat di Kota Tarakan, di mana perhatian pemerintah kota terhadap perbaikan kualitas pendidikan dan sarana pendidikan sangat serius. Kalau di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur yang kaya raya kita bisa melihat kantor pemerintah daerah yang sangat megah, hal ini tidak terlihat di Tarakan. Sebaliknya, kualitas dan kuantitas fasilitas pendidikan serta berbagai fasilitas komunitas dan generasi muda (seperti gelangggang olah raga) mengalami peningkatan yang sangat signifikan di era otonomi daerah. Pun perhatian tidak terbatas pada kualitas fisik. Aspek non-fisik—seperti gaji, pendidikan guru dan lain-lain—mendapat perhatian yang serius. Memang, Tarakan bukanlah satu-satunya daerah yang serius memperhatikan kualitas pendidikan di daerah. Namun, kota pulau ini bisa dijadikan contoh bahwa bila ada kemauan tentu ada jalan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di daerah—bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Di bidang kesehatan, contoh bisa dilihat di Kota Sukabumi, yang telah secara serius mencoba mengatasi persebaran HIV/AIDs serta berbagai penyakit lainnya melalui berbagai program yang ada. Yang menarik dari Kota Sukabumi adalah penekanan yang sudah dilakukan terhadap pembangunan manusia dengan meletakkan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai ujung tobak sasaran pembangunan daerah.
Di satu sisi contoh-contoh di atas memberikan suatu optimisme bahwa jika banyak daerah menjalankan kebijakan dan tindak-nyata yang selaras dengan MDGs—dengan atau tanpa mengkaitkan secara formal dengan MDGs—maka MDGs bisa tercapai. Namun di sisi lain harus disadari bahwa perjalanan masih sangat panjang ke sebuah kondisi di mana daerah dapat mengampu (membuat mampu) keterwujudan komitmen di tingkat nasional atau internasional seperti MDGs ini.
Inisiatif-inisiatif lokal positif yang dicontohkan di atas masih terlalu sedikit untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 350 kabupaten dan kota. Sebagian besar pun masih kesulitan jika menyangkut investasi infrastruktur yang sangat besar. Di sini dukungan dari kemitraan internasional (Tujuan 8) masih sangat ditunggu dan belum berjalan dengan baik. Yang terjadi kemudian, inisiatif-inisiatif tersebut tersebut masih tergantung kepada pemimpin daerah yang berani melakukan terobosan-terobosan positif di tengah kebekuan atau kegamangan birokrasi dalam menghadap perubahan jaman yang begitu cepat. Akibatnya, jika pemimpin kuat dan inovatif tersebut suatu saat harus mundur sebagai bagian dari proses demokrasi, inisiatif-inisiatif positif tersebut masih diragukan keberlanjutannya. Padahal, sebagian besar inisiatif tersebut masih dalam tahap embrionik, sehingga memerlukan kontinuitas selama beberapa tahun mendatang untuk menjadi sebuah kegiatan yang sistemik.
Semakin gencar gaung Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) ke daerah-daerah, semakin sering pula pertanyaan ini muncul: ”MDGs itu kepentingan siapa?” Masih banyak yang berpendapat bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang hendak ”dipaksakan” untuk dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini terungkap ketika penulis terlibat dalam loka-latih penerapan Kartu Penilaian Warga (Citizen Report Card) untuk Pencapaian MDGs di Kota Sukabumi beberapa bulan yang lalu dan di Bali beberapa hari yang lalu.
Di Kota Sukabumi—yang notabene pemerintahnya pernah menyelenggarakan kampanye ”Standup Against Poverty”—seorang peserta loka-latih tersebut mengaku bahwa pada awalnya dia memiliki praduga demikian. Namun setelah mengikuti proses pengisian Kartu Penilaian yang bersifat partisipatif, yang bersangkutan akhirnya menyadari bahwa pokok-pokok persoalan yang ada dalam MDGs sebenarnya adalah persoalan sehari-hari dihadapi oleh daerah dan bahkan oleh komunitas dan sebagian individu. Setidaknya ada satu peserta lain yang kemudian juga mengaku mengalami perubahan pemahaman yang sama tentang MDGs setelah mengikuti acara loka-latih tersebut. Kemudian, ketika cerita ini penulis sampaikan dalam suatu loka-latih sejenis di Denpasar (untuk Propinsi Bali) baru-baru ini, beberapa peserta memperlihatkan gesture yang menunjukkan mereka juga memiliki praduga yang sama. Sementara sebagian peserta lain bahkan belum pernah mendengar apa itu MDGs.
Memang praduga bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang di-”imposed” kepada daerah sangat wajar muncul mengingat MDGs memang merupakan hasil dari pertemuan para pemimpin dunia menjelang Abad ke-21 atau sering juga disebut Abad Milenium. Dengan melihat masih banyaknya penduduk di muka bumi ini yang hidup di tengah kemiskinan, tidak menikmati pendidikan dan layanan kesehatan serta tinggal di lingkungan yang tidak layak huni, para pemimpin tersebut merasa bahwa upaya-upaya meningkatkan kualitas pembangunan yang telah dilakukan hingga tahun 2000 masih kurang efektif.
Oleh karenanya dicetuskan pendekatan pembangunan yang tidak didominasi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi lebih menekankan pada pembangunan manusia. Agar efektif, pendekatan pembangunan ini kemudian disertai dengan target-target yang jelas, terukur dan terikat waktu (time-bound).
Para pemimpin dunia tersebut selanjutnya menetapkan delapan tujuan utama (goals) yang diuraikan ke dalam 18 target terinci mencakup aspek kemiskinan, pendidikan, gender, kesehatan (termasuk HIV/AIDS yang semakin merebak), keberlanjutan lingkungan serta perbaikan lingkungan permukiman manusia, ditambah dengan komitmen untuk membangun kemitraan (antar-negara maupun antara pemerintah-swasta-warga) agar sumberdaya yang memang tidak tersebar secara merata di muka bumi ini dapat digunakan sebaik-baiknya untuk memastikan tujuan-tujuan mulia tersebut bisa tercapai. Dengan demikian, secara umum diharapkan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrim tidak harus menunggu lebih lama lagi, tetapi dapat terjadi pada generasi sekarang ini.
Namun demikian, komitmen global tersebut tidak akan pernah bisa terwujud jika tidak ada kebijakan dan tindakan yang selaras di tingkat daerah dan komunitas (lokal). Hal ini semakin terasa dengan berlangsungnya gelombang desentralisasi, yang terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan bumi yang lain. Walaupun desentralisasi memiliki tujuan mulia untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan publik kepada warga dan pemangku-kepentingan lainnya, namun dalam kenyataannya fase desentralisasi dan demokrasi yang masih sangat ranum ini banyak ”dibajak” oleh elit lokal untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Jika hal ini dibiarkan, maka MDGs tidak akan tercapai.
Untunglah terdapat daerah-daerah yang secara sungguh-sungguh—tidak hanya dalam kata-kata yang tertuang di dalam rencana pembangunan daerah—telah menjalankan berbagai kebijakan dan tindakan nyata yang ditujukan untuk menghapuskan kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan serta memperbaiki lingkungan alam maupun lingkungan hunian manusia. Hal tersebut selaras dengan Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium walaupun sebagian dari inisiatif positif tersebut tidak secara formal dikaitkan dengan MDGs.
Tindakan-tindakan tersebut umumnya merupakan inisiatif lokal walaupun sebagian ada yang kemudian mendapat dukungan dari pemerintah pusat maupun lembaga internasional.
Untuk menyebutkan sebagian saja inisiatif-inisiatif lokal yang positif tersebut, di bidang pengentasan kemiskinan dapat di lihat pada apa yang sudah dijalankan di Kota Balikpapan, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Deli Serdang, Kota Blitar dan lain-lain. Kota Balikpapan, misalnya, telah menerapkan sebuah filosofi pembangunan ”Sembilan Menggendong Satu” yang artinya adalah tanggung-jawab bersama sembilan puluh persen warga yang termasuk tidak miskin untuk membantu mengentaskan sekitar sepuluh persen penduduk yang masuk dalam kategori miskin. Hal ini kemudian dicerminkan secara konsisten ke dalam penganggaran serta berbagai program-program lain (termasuk beasiswa dan layanan kesehatan gratis bagi kaum miskin).
Di Jembrana, kabupaten yang sebenarnya paling miskin di Propinsi Bali, pemerintah daerah berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran—termasuk secara drastis menggabungkan beberapa sekolah yang utilisasinya rendah—sehingga terdapat ruang anggaran untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nelayan setempat. Dukungan secara khusus kepada komunitas nelayan juga dilakukan di Kabupaten Deli Serdang dan beberapa daerah lain yang memiliki jumlah nelayan secara signifikan. Nelayan seringkali merepresentasi penduduk yang hidup dalam kemiskinan walau telah bekerja sangat keras.
Di bidang pendidikan, contoh inisiatif lokal yang mendukung MDGs dapat dilihat di Kota Tarakan, di mana perhatian pemerintah kota terhadap perbaikan kualitas pendidikan dan sarana pendidikan sangat serius. Kalau di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur yang kaya raya kita bisa melihat kantor pemerintah daerah yang sangat megah, hal ini tidak terlihat di Tarakan. Sebaliknya, kualitas dan kuantitas fasilitas pendidikan serta berbagai fasilitas komunitas dan generasi muda (seperti gelangggang olah raga) mengalami peningkatan yang sangat signifikan di era otonomi daerah. Pun perhatian tidak terbatas pada kualitas fisik. Aspek non-fisik—seperti gaji, pendidikan guru dan lain-lain—mendapat perhatian yang serius. Memang, Tarakan bukanlah satu-satunya daerah yang serius memperhatikan kualitas pendidikan di daerah. Namun, kota pulau ini bisa dijadikan contoh bahwa bila ada kemauan tentu ada jalan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di daerah—bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Di bidang kesehatan, contoh bisa dilihat di Kota Sukabumi, yang telah secara serius mencoba mengatasi persebaran HIV/AIDs serta berbagai penyakit lainnya melalui berbagai program yang ada. Yang menarik dari Kota Sukabumi adalah penekanan yang sudah dilakukan terhadap pembangunan manusia dengan meletakkan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai ujung tobak sasaran pembangunan daerah.
Di satu sisi contoh-contoh di atas memberikan suatu optimisme bahwa jika banyak daerah menjalankan kebijakan dan tindak-nyata yang selaras dengan MDGs—dengan atau tanpa mengkaitkan secara formal dengan MDGs—maka MDGs bisa tercapai. Namun di sisi lain harus disadari bahwa perjalanan masih sangat panjang ke sebuah kondisi di mana daerah dapat mengampu (membuat mampu) keterwujudan komitmen di tingkat nasional atau internasional seperti MDGs ini.
Inisiatif-inisiatif lokal positif yang dicontohkan di atas masih terlalu sedikit untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 350 kabupaten dan kota. Sebagian besar pun masih kesulitan jika menyangkut investasi infrastruktur yang sangat besar. Di sini dukungan dari kemitraan internasional (Tujuan 8) masih sangat ditunggu dan belum berjalan dengan baik. Yang terjadi kemudian, inisiatif-inisiatif tersebut tersebut masih tergantung kepada pemimpin daerah yang berani melakukan terobosan-terobosan positif di tengah kebekuan atau kegamangan birokrasi dalam menghadap perubahan jaman yang begitu cepat. Akibatnya, jika pemimpin kuat dan inovatif tersebut suatu saat harus mundur sebagai bagian dari proses demokrasi, inisiatif-inisiatif positif tersebut masih diragukan keberlanjutannya. Padahal, sebagian besar inisiatif tersebut masih dalam tahap embrionik, sehingga memerlukan kontinuitas selama beberapa tahun mendatang untuk menjadi sebuah kegiatan yang sistemik.
Subscribe to:
Posts (Atom)