Saturday, February 14, 2009

Kota yang Berkeadilan

[Telah dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia, 1 Oktober 2007]

Tema Hari Habitat—yang selalu dilaksanakan di seluruh dunia setiap hari Senin pertama bulan Oktober—tahun 1997 adalah “A safe city is a just city”. Dengan ini, Perserikatan Bangsa Bangsa hendak mengingatkan bahwa kota yang aman berarti juga kota yang berkeadilan karena memungkinkan siapa saja—wanita, anak-anak, minoritas, difabel, kaya maupun miskin—untuk beraktivitas di kota tanpa harus merasa takut atau was-was akan terjadi hal-hal yang mengganggu rasa aman mereka. Di sini penekanannya memang lebih kepada penciptaan kota yang aman.

Namun, kita bisa juga memaknainya secara terbalik: “A just city is a safe city,” dengan penekanan pada upaya penciptaan kota yang berkeadilan. Kota yang berkeadilan adalah kota yang dapat memberi peluang kurang lebih sama bagi siapa saja untuk tinggal dan bekerja di kota tersebut. Dan karena di era yang serba kapitalistik ini mereka yang berpenghasilan menengah ke atas selalu dapat menawar lokasi yang terbaik, maka persoalannya dapat dipersempit menjadi bagaimana memberi akses ruang kota bagi kaum miskin.

Dilema yang Ada
Menyediakan ruang kota bagi kaum miskin bukan persoalan gampang karena dengan semakin padatnya kota-kota kita, maka semakin mahal pula harga lahan di dalam kota. Jika hanya mekanisme pasar yang bekerja, maka niscaya kaum miskin akan tersingkir jauh ke kawasan pinggiran yang masih murah. Ini pun semakin tidak mudah didapat. Atau mereka terpaksa harus menyusup ke ruang-ruang sempit seadanya di dalam kota, termasuk tinggal di kolong-kolong jalan tol. Ketika urusan sesuap nasi untuk esok hari saja masih belum jelas, legalitas dan keselamatan sendiri maupun orang lain menjadi urusan entah nomor berapa.

Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk “melengkapi” mekanisme pasar yang ada. Penulis sebut “melengkapi” karena memang sebaiknya pemerintah—selain sebagai regulator untuk memastikan berjalannya sistem pasar yang adil—hanya berperan langsung di bidang-bidang di mana pasar tidak bisa berfungsi sama sekali (terjadi market failures).

Jika pasar sudah bekerja dengan baik dalam menyediakan ruang kota bagi kaum menengah ke atas, biarlah jangan diintervensi dengan segala macam aturan yang memberatkan. Namun biasanya pasar (formal) gagal melayani kebutuhan akan ruang kota untuk tinggal dan berusaha bagi kaum miskin, khususnya yang berada di sekitar dan di bawah garis kemiskinan. Walaupun 60% penduduk miskin saat ini masih tinggal di perdesaan, jumlah absolut kaum miskin di perkotaan diperkirakan akan meningkat seiring dengan pesatnya arus urbanisasi.

Dan kalau upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan ruang kota bagi kaum miskin ini tidak efektif, maka alternatifnya adalah berkembangnya pasar informal ruang kota: proses produksi dan jual beli ruang tinggal serta ruang untuk mencari nafkah secara tidak teregulasi bahkan terkadang melanggar regulasi atau ilegal (dengan derajat ilegalitas yang berbeda-beda) karena memang ada kebutuhan ruang kota yang gagal dipenuhi oleh pasar formal.

Setidaknya ada dua fenomena saling kait-mengkait yang perlu dicermati pada dinamika pasar formal-informal ruang kota, khususnya jika pemerintah memilih berpangku tangan atau melakukan tindakan yang kurang tepat. Pertama cepat atau lambat kekuatan finansial pasar formal akan terus-menerus mendesak pasar informal ke lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan. Kedua, pada saat yang sama pasar informal tidak akan menyusut begitu saja jika memang tidak ada perbaikan yang signifikan pada penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah, karena sejatinya pasar informal merupakan cermin dari struktur sosial-ekonomi masyarakat secara umum. Akibatnya akan terjadi ketegangan (tensions) sosial yang berkelanjutan.

Di luar aspek legal-formal, sebenarnya pasar informal dalam produksi ruang tinggal dan ruang untuk mencari nafkah (kaki lima, ojek, dan lain-lain) di kota adalah syah saja karena toh “diterima” oleh masyarakat luas (kecuali kalau sudah masuk ke ranah kriminal). Bahkan selain memberikan ruang bagi kaum miskin untuk menjalani kehidupannya di kota, pasar informal ini juga sebenarnya “mensubsidi” korporasi-korporasi formal yang menggaji karyawannya sedemikian “rendah” sehingga tidak memungkinkan untuk setiap siang hari makan di restoran formal atau membayar biaya transportasi yang mahal.

Namun sektor informal perkotaan pun memiliki sisi negatif. Antara lain, sektor ini tidak memberi jaminan kepastian status hukum, rentan terhadap bahaya yang bisa merugikan sendiri atau orang lain, menguasai ruang-ruang publik yang sebenarnya punya fungsi lain serta rentan terhadap pemerasan. Hal yang terakhir ini menurut hemat penulis adalah yang paling serius tetapi jarang dipertimbangkan baik oleh pemerintah kota yang ingin membatasi ruang gerak ekonomi informal perkotaan maupun oleh para aktivis pembela hak-hak kaum miskin untuk tinggal di kota.

Jumlah dan alur uang hasil pemerasan di sektor informal perkotaan ini sulit diketahui tetapi diperkirakan sangat besar. Jika di Jakarta terdapat 200,000 PKL (sebuah estimasi konservatif) yang setiap harinya masing-masing membayar berbagai “setoran” senilai Rp. 5000.- (juga sebuah angka yang konservatif karena di beberapa tempat strategis bisa lebih dari Rp. 15,000.- ke beberapa “penagih”), maka apa yang disebut oleh ILO (International Labour Organization) sebagai parallel structure ini bisa mencapai satu miliar rupiah per hari dan kurang lebih 25 miliar rupiah per bulan (300 miliar rupiah per tahun!). Ini hanya dari salah satu sektor perdagangan informal (PKL) saja. Masih banyak aktivitas kehidupan informal yang lain yang juga rentan pemerasan.

Fenomena disebut parallel structure karena alur arus uang dari bawah ke atas ini sejajar dengan alur arus uang formal yang berupa pajak-pajak. Bedanya, parallel structure ini tidak transparan, tidak akuntabel dan bahkan entah masuk ke mana. Jika parallel structure menjadi lebih besar daripada uang legal yang mengalir ke kas negara, maka otoritas negara/pemerintah menjadi lemah vis-a-vis kekuatan uang gelap. Ini merupakan salah satu ciri ’negara gagal.’

Lantas bagaimana?
Oleh karena itu pemerintah harus secara strategis mengupayakan peluang bagi kaum miskin untuk dapat hidup secara lebih layak di dalam kota. Kementerian Negara Perumahan Rakyat memang sedang giat mewujudkan pembangunan rumah susun 1000 menara di kota-kota besar di Indonesia. Namun, meski subsidi akan membantu kaum miskin untuk masuk ke dalam rusun tersebut, kemampuan kaum miskin untuk membiayai perawatan dan operasionalnya masih diragukan. Apakah harus disubsidi terus menerus (menjadi semacam perumahan sosial)? Ataukah ada cara lain yang dapat meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi mereka sehingga suatu saat mampu memeliharanya sendiri.

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya perbaikan kampung-kampung kota. Adalah sedikit ironis melihat kenyataan bahwa program Baan Mankong di Thailand, yang dulu belajar dari program Kampung Improvement Program di Jakarta sekarang justru menjadi kiblat bagi kita untuk belajar bagaimana memperbaiki kehidupan mereka-mereka yang tinggal diperkampungan kumuh kota. Pun harus didukung upaya multi-pihak untuk mewujudkan apa yang disebut Housing Resource Center atau Baledaya Perumahan yang ditujukan untuk membantu pembangunan perumahan secara swadaya tapi tertata dengan baik.

Persoalan pengadaan lahan memang yang paling rumit dan bisa menjadi kendala bagi berbagai program pemerintah yang ada. Apalagi pemerintah terlanjur tidak mempersiapkan secara khusus bank-lahan (land bank) sebelum harga lahan menjadi mahal. Namun sebenarnya masih cukup banyak lahan-lahan milik negara yang bisa dimanfaatkan bagi tempat tinggal kaum miskin secara intensif, terencana dan tertata. Spekulasi lahan bisa dimitigasi dengan menerapkan disinsentif fiskal atau pajak progresif bagi mereka yang menyimpan lahan hanya untuk dijual kembali tanpa melakukan perbaikan apa-apa.

Akhir kata, hanya dengan memberikan peluang bagi semua pihak untuk dapat tinggal di dekat sumber-sumber nafkahlah kota yang berkeadilan dapat diwujudkan. Harapannya, jika warga dari berbagai latar-belakang sosial-ekonomi bisa hidup berdampingan secara rukun (tanpa ‘ketegangan’ atau kesalingcurigaan) maka kota akan menjadi lebih aman, manusia menjadi lebih produktif, bangsa menjadi lebih maju. Moga-moga.

Tiga Aras Permasalahan dalam Produksi Ruang Kota

[Telah dipublikasikan di Kiprah, Volume 19/VI, Januari - Februari 2007]

Menuju Bangsa Urban
Banjir yang masih selalu melanda kota-kota besar kita menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya sadar bahwa kita sebentar lagi akan menjadi sebuah “bangsa urban” (urbanized nation) di mana penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan lebih banyak daripada penduduk yang tinggal di kawasan perdesaan. Walaupun proses urbanisasi berlangsung secara gradual dan telah berlangsung lama, menjadi bangsa urban akan membawa konsekuensi sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik yang tidak kecil. Dan kita harus siap untuk menjalani kehidupan kota yang tidak sekedar dari sisi gaya dan hura-hura!

Dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di kota, maka kebutuhan akan ruang kota juga semakin meningkat. Satu hal yang harus diperhatikan secara serius dalam hal ini adalah bagaimana ruang kota tersebut ‘diproduksi’ atau diadakan dan apa dampak sosial-ekonomi dari proses-proses tersebut. Pendekatan yang tepat dalam proses atau modus produksi (modes of production) ruang kota dapat dianggap sebagai bagian dari upaya pembangunan kota yang berkelanjutan. Dan di era global yang semakin kompetitif ini, peran kota dalam pembangunan nasional sangat penting. Negara dengan kota-kota yang berfungsi secara baik akan lebih mudah menarik investor berkualitas serta memberi kesempatan yang lebih baik bagi warganya untuk meningkatkan kesejahteraannya, sebuah kondisi yang pada gilirannya akan mendorong pembangunan ekonomi lokal maupun nasional secara berkelanjutan.

Modus Produksi Ruang Kota
Dalam bukunya “[Menyiasati] Kota Tanpa Warga” (2006), Jo Santoso memperkirakan Indonesia membutuhkan rata-rata 50.000 hektar ruang kota per tahun selama kurun 2000-2010 untuk menampung pertambahan penduduk urban sekitar 3,0 – 3,5 juta per tahun. Kita mungkin bisa memperdebatkan angka ini maupun asumsi-asumsi di belakangnya, namun bagaimanapun memang setiap tahun dibutuhkan ruang kota baru yang sangat besar untuk menampung penghuni kota yang baru—baik yang datang dari kawasan perdesaan maupun yang memang dilahirkan di kota (akibat pertumbuhan natural).

Untuk menampung pertambahan penduduk urban baru yang sangat banyak tersebut, setidaknya terdapat tiga jenis respon perubahan ruang kota: (i) pertumbuhan horisontal, yaitu ekspansi ke kawasan yang tadinya perdesaan, (ii) pertumbuhan vertikal, yaitu ekspansi ke atas dengan pembangunan vertikal, (iii) proses pemadatan (densifikasi atau subdivisi) bagian-bagian kota yang sudah ada. Pertumbuhannya pun bisa bersifat formal (di atas lahan legal, terencana, sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan yang ada) namun bisa pula bersifat informal (penguasaan lahan tanpa legalitas, tidak terencana serta tidak sesuai dengan tata guna lahan dan aturan-aturan terkait lainnya).

Pengamatan lebih lanjut terhadap modus pembentukan ruang kota menunjukkan pengaruh yang sangat kuat dari liberalisasi tata-kelola pemerintahan yang berlangsung secara global. Dengan berdiri kokohnya paradigma ekonomi kapitalisme dan “saudara kembarnya” filosofi sosio-politik liberal di mana pemerintah diharapkan untuk tidak terlalu banyak campur tangan, hanya bertindak sebagai “regulator” (bukan lagi “fasilitator”, apalagi “provider”) namun dilaksanakan di tengah-tengah iklim penegakkan hukum yang lemah serta tata-kelola yang memberi peluang praktek-praktek kolutif dan koruptif, maka modus pembentukan ruang-ruang kota pun dipengaruhi oleh paradigma ini.

Kombinasi dari pengamatan-pengamatan di atas, maka ruang kota kita umumnya terbentuk melalui proses-proses: (i) perubahan guna lahan dari fungsi non-perkotaan ke fungsi perkotaan atau perubahan kepadatan guna lahan perkotaan yang ada (melalui densifikasi atau subdivisi) secara individual tapi memiliki kadar legalitas ‘memadai,’ walaupun mungkin saja tidak sesuai dengan tata ruang makro ataupun mikro yang ada (dan yang tidak di-enforced), yang kemudian terakumulasi membentuk suatu kawasan yang tidak terencana tapi relatif legal; (ii) perubahan yang sama tetapi dilakukan secara ‘block’ oleh pengembang yang telah mengantongi legalitas untuk beroperasi, terkadang dengan harus mengubah tata ruang makro yang sudah ada lebih dahulu namun kurang/tidak sesuai dengan tuntutan bisnis sang pengembang; (iii) perubahan guna lahan secara spontan dan illegal, seringkali diakibatkan oleh faktor keterbatasan sosial-ekonomi, pada lahan-lahan publik, milik negara, milik korporasi atau individu yang tidak diawasi dalam kurun waktu yang cukup lama (seperti yang terjadi di sepanjang bantaran sungai, jalur hijau, lahan tidur dan bahkan kolong jembatan). Modus keempat, yaitu kawasan yang berkembang secara terencana sesuai dengan tata ruang makro yang ada (misalnya Kebayoran Baru atau sebagian—tapi tidak semua—kota-kota baru yang menjamur di sekitar Jabodetabek) boleh dibilang minoritas!

Yang terjadi adalah kota-kota yang kita lihat dan tinggali sehari-hari: semrawut, individualis dan miskin ruang publik. Dalam situasi seperti itu, memang sangat “natural” bahwa ruang publik akan menjadi korban. Tiga dasa-warsa yang lalu Garret Hardin (1968) telah mengingatkan kita tentang fenomena yang dinamakannya “The Tragedy of the Commons” di mana ruang publik akan menjadi korban kepentingan-kepentingan pribadi jika tidak ada aturan pemakaiannya.[1]

Kemudian, ahli geografi perkotaan, John Rennie Short (1996) juga telah mengingatkan problematika yang secara inherent menempel pada kota-kota yang semakin kapitalistik, yaitu fenomena yang dia sebut—merujuk pada apa yang dipelajari oleh Frederick Engels kurang lebih satu setengah abad yang lalu—sebagai “The Paradox of the Capitalist City”: sebuah ko-eksistensi dua hal yang sangat bertentangan. “Kota” pada dasarnya adalah sebuah “shared space” sedangkan “kapitalisme” pada dasarnya adalah “individual profits”. Akibatnya, yang terjadi adalah ketegangan terus menerus dan pertempuran perebutan ruang kota antara mereka yang punya uang (dan kekuasaan) dan mereka yang “bonek” (“bondo-nekat” atau hanya bermodalkan nekat, berani pasang badan, akibat dari keterdesakkan yang dialaminya).

Tiga Aras Persoalan
Dengan modus produksi ruang kota seperti diuraikan secara ringkas di atas, maka terjadi akumulasi persoalan yang sangat kompleks. Kalau pengelola kota tidak mampu menguraikan persoalan-persoalan tersebut secara lebih sistematis, maka kita akan selalu dihadapi persoalan yang tidak berkesudahan, bahkan kadang-kadang seperti “running in circle” (berputar-putar pada persoalan yang sama dari waktu-ke-waktu) seperti persoalan banjir besar di kawasan Jabodetabek yang kita hadapi setiap lima tahun.

Oleh karena itu, adalah penting untuk menyadari bahwa proses penyediaan ruang kota kita—seperti juga setiap persoalan besar lain—memiliki tiga aras (tingkatan) persoalan, yaitu persoalan-persoalan praktikal yang mudah dilihat, dirasakan atau dicerna oleh logika sederaha, persoalan-persoalan sistemik yang menyangkut aspek kelembagaan, kebijakan, sistem tata-kelola, sistem tata-ruang dan lain-lain yang tentunya lebih tidak mudah dilihat atau dirasakan, serta persoalan-persoalan paradigmatik, yaitu yang menyangkut cara-pandang atau cara-berpikir kita, khususnya dalam melihat posisi manusia dan lingkungannya. Cara pandang ini (khususnya yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta/pengembang terkait) kemudian akan mempengaruhi sistem yang ada dan pada ujungnya akan mempengaruhi praktek-praktek pembuatan ruang kota.

Persoalan-persoalan praktikal (seperti bagaimana menyediakan, merancang dan mengembangkan ruang kota baru secara baik; atau bagaimana merancang jalur pedestrian yang tetap dapat menampung pedagang kaki lima) sudah cukup banyak dibahas. Demikian pula persoalan-persoalan sistemik (seperti bagaimana menyusun tata-kelola kota yang efisien, transparan, partisipatif, akuntable, efektif dan responsif; atau bagaimana alokasi ruang kota agar pelaku kegiatan ekonomi informal masih dapat melakukan aktifitasnya tanpa mengganggu pengguna kota lainnya) juga sudah cukup sering dibahas.

Yang secara khusus ingin diingatkan melalui tulisan ini adalah adanya persoalan paradigmatik yang sangat penting walau tidak kasat mata. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa proses globalisasi (yang juga membawa globalisasi nilai-nilai) telah membuat banyak pemerintah (kota maupun nasional) harus mereposisi perannya. Jika di era sebelum 1980-an pemerintah umumnya memegang kendali dalam berbagai aspek pembangunan, maka di era 1990-an pihak swasta mulai berperan sangat besar (termasuk membangun kota-kota baru hampir sepenuhnya oleh swasta); kemudian di era setelah itu masyarakat madani menuntut untuk juga memiliki peran dalam proses-proses pengadaan ruang kota. Yang terjadi kemudian banyak pemerintah kota (tidak hanya di Indonesia, tetapi dala konteks tulisan ini khususnya di Indonesia) yang kemudian “gamang,” tidak merasa yakin bagaimana harus berperan secara tepat.

Kota-kota yang beruntung memiliki kepemimpinan lokal yang kuat dan berorientasi kepada kepentingan publik akan cepat bertindak mengambil manfaat dari proses desentralisasi dan globalisasi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan warganya. Namun lebih banyak kota-kota yang pemerintahnya “withdraws from its responsibilities” dan praktis bisa dikatakan “menyerahkan” proses-proses pembentukan ruang kota ini kepada masyarakat dan swasta. Dalam situasi seperti ini maka fenomena “Tragedy of the Commons” dan “Paradox of the Capitalist City” menjadi semakin mengental dan akibatnya akan ada yang dikorbankan: mereka yang tidak memiliki uang (kekuasaan) atau keberanian untuk “nekat” akan tersingkir ke pinggiran kota. Ruang publik pun akan semakin menghilang, digantikan oleh ruang-ruang “semi publik” yang dimiliki oleh korporasi (seperti ruang-ruang di dalam “mall”)

Penutup
Harus diakui, kajian ini masih memerlukan pendalaman. Namun setidaknya sudah terlihat adanya persoalan yang lebih mendasar dalam cara-cara kita menyediakan ruang kota guna menampung proses urbanisasi yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesadaran akan adanya masalah mendasar dan paradigmatik ini merupakan langkah awal untuk mencoba secara bersama-sama mencari solusinya. Jika proses mencari solusi bersama ini bisa dijalankan secara terus-menerus oleh pemerintah (pusat dan kota) bersama-sama dengan warganya, maka bisa diharapkan kota-kota kita suatu saat menjadi kota-kota yang nyaman ditinggali (livable), ramah lingkungan dan berkelanjutan.


[1] Solusi yang diusulkan Hardin dalam mengatasi fenomena “The Tragedy of the Commons” ada dua: (i) privatisasi (bila mungkin) karena dengan demikian masing-masing pemakai akan bertanggung-jawab terhadap ruangnya sendiri-sendiri, atau (ii) apa yang disebut “mutually agreed-upon coercion” atau pembatasan terhadap diri masing-masing pemakai yang disetujui bersama. Untuk ruang-ruang kota yang tidak selalu bisa diprivatisasi maka pendekatan kedua adalah yang paling tepat: peraturan yang ditegakkan.

Tuesday, April 22, 2008

Comparing Singapore to Jakarta is Like Comparing Apple to Durian

I am amazed that some media and some people keep publishing comparisons between Singapore and Jakarta. When I read one of the articles, well it was fine and fun. But then, when the second, the third and so on got published, I thought it is too much already! No, it’s not about the quality of the writing because in fact I did enjoy some of those articles. It is the unfairness and the un-usefullness of such a comparison that got me writing this opinion piece with the hope that this would be the last of its kind.

One article in the Jakarta Post last year spoke about Singapore as a world away from Jakarta despite being only a stone throw from the latter. Singapore is clean and lives are orderly. Jakarta is filthy and lives are unpredictable. Another article, also in Jakarta Post late last year elaborated further on the issue of security: Singapore is predictably safe while safety in Jakarta is always questionable. The former is also seen as very clever in attracting tourists (of whom Indonesians made up 20 percent) while the latter—and the whole country as well—is said to be incompetent and clumsy in promoting its abundant tourism potentials. All true, I agree. But then so what?

Of course there are some things that Jakarta can learn from Singapore. But the problems in Jakarta—with no less than 14 million people, a great many of whom are under-educated poor, and is surrounded by a vast hinterland that is ready to send even more poor people to the capital city—are much more multifaceted and complicated than those faced by Singapore, a strategically-located yet physically-secluded city-island-state of 4.5 million people that can easily select whom they want to welcome or invite (the rich and the bright, of course!).

Yes, Singapore and Jakarta are similarly multicultural (although the cultural compositions are different), but Jakarta population is much more multilayered, income-wise and education-wise. Moreover, in an increasingly democratic Indonesia, Jakarta gives more room for differences in opinions and interests, even though eventually it is always the powerful that prevails.

The word “power” however should be seen in a broadest sense because even the poor, collectively, have power (at least to brand the government as insensitive, for example). To borrow the words of recently visiting Professor Abdoumaliq Simone of the University of London, the rich of Jakarta has increasingly shown “the power to waste,” while at the same time the poor has exhibited “the power to wound.” What an irony in a place where resources are always scarce!

Thus, in Jakarta almost every attempt to turn a stone will certainly face strong objections from at least one section of the society, be they the poor who lived under the toll-road structures, the people (not necessarily poor nor disabled) who beg on the streets, the land-owners/occupiers who want to profit from every government project or the rich of Pondok Indah neighborhood. It does not matter whether the objections are justified, simply selfish or, worse, blatantly opportunistic.

In addition, Jakarta has no right whatsoever to say no to people coming from other parts of Indonesia, be they forced by rural poverty, seeking better education, hunting for job opportunities or simply wanting to see the “big village.” In fact, constitutionally Jakarta is obliged to take care of its poor dwellers, although in reality these poor people are left to compete in the urban market with the not-so-poor, the barely middle-income and even the rich in getting a little hold of any urban space needed for them to survive. This results in continuous tensions that are inexistent in the generally prosperous city-state of Singapore.

Those differences alone (and there are many more) have made it difficult to simply adopt whatever is working very well in Singapore to Jakarta. Therefore, comparing Singapore and Jakarta is not a useful apple-to-apple comparison. I would rather see it as an apple-to-durian comparison that gives little lessons for Jakarta to learn and to improve. Analogically, apple is healthy but somewhat boring for sensation-seekers while durian is stimulating, smelly and unpredictable but can also be treacherous for some people. It is apt to this analogy that durian is said to be forbidden in many parts of Singapore!

Here, I am not arguing that nothing can be learned from Singapore for the betterment of Jakarta (there are a lot). But comparing both cities only on what are seen on the surface, without going into the roots of the differences and only from a certain cultural viewpoint—especially from a culture that sees “chaos” only as the opposite of “order,” forgetting that there are actually “patterns” even in chaotic situations—has very little value.

I understand that in the first article I mentioned in the beginning, the author only wanted to point—and even celebrate—the big differences of two cities in a close proximity. Meanwhile in the second article, the second author wanted to see a safer and more tourist-attracting Jakarta. Yet, again, comparing apple to durian never comes to a fair and therefore acceptable conclusion. Despite the authors’ good intensions, the articles are actually an unfairly bad tourist-promotion for Jakarta that is actually still struggling to cope with the post-crisis political-economic transformations and that actually contains a beauty inside its chaotic surface—only if we can see it.

Therefore, to compare in an apple-to-apple (or more correctly, durian-to-durian) fashion, Jakarta is best compared to cities of “its class”: those that have somewhat similar socio-economic and demographic conditions such as Manila, Bangkok, Dhaka, Karachi, Lagos and Kolkata and other megacities (cities with more than 10 million inhabitants) in the developing world. In this way, Jakarta is not doing very badly. This is no reason whatsoever for complacency. In some areas like public transportation, traffic-congestion and housing, Jakarta has a lot to catch up.

What about safety? In this regard, Singapore is exceptional not only when compared to Jakarta but also among major cities in the world. Moreover, safety—or more accurately, the sense of safety—is actually a socially-constructed concept. Accordingly there are two types of safety: real and perceived. The latter often distorts the former when it is seen from the rich and orderly viewpoint toward a poor and somewhat chaotic atmosphere (and the other way around as well).

Familiarity to the surrounding people and environment does also count. If you know the people, you will feel much safer to be within a slum community in Jakarta at night (many of the kampungs are 24 hours) than, say, walking in the downtowns of New York, Los Angeles or some other megacities of the world. At least in Jakarta no legal visitor has ever been beaten in the middle of the night by a group of plain-clothed police mistakenly thought the visitor were illegal worker—something that happened last year to a visiting Indonesian sport-judge in Kuala Lumpur.

Thursday, September 6, 2007

Aksi Lokal yang Mengampu Kesepakatan Global

(Also published on Koran Seputar Indonesia, 26 Agustus 2007)

Semakin gencar gaung Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) ke daerah-daerah, semakin sering pula pertanyaan ini muncul: ”MDGs itu kepentingan siapa?” Masih banyak yang berpendapat bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang hendak ”dipaksakan” untuk dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini terungkap ketika penulis terlibat dalam loka-latih penerapan Kartu Penilaian Warga (Citizen Report Card) untuk Pencapaian MDGs di Kota Sukabumi beberapa bulan yang lalu dan di Bali beberapa hari yang lalu.

Di Kota Sukabumi—yang notabene pemerintahnya pernah menyelenggarakan kampanye ”Standup Against Poverty”—seorang peserta loka-latih tersebut mengaku bahwa pada awalnya dia memiliki praduga demikian. Namun setelah mengikuti proses pengisian Kartu Penilaian yang bersifat partisipatif, yang bersangkutan akhirnya menyadari bahwa pokok-pokok persoalan yang ada dalam MDGs sebenarnya adalah persoalan sehari-hari dihadapi oleh daerah dan bahkan oleh komunitas dan sebagian individu. Setidaknya ada satu peserta lain yang kemudian juga mengaku mengalami perubahan pemahaman yang sama tentang MDGs setelah mengikuti acara loka-latih tersebut. Kemudian, ketika cerita ini penulis sampaikan dalam suatu loka-latih sejenis di Denpasar (untuk Propinsi Bali) baru-baru ini, beberapa peserta memperlihatkan gesture yang menunjukkan mereka juga memiliki praduga yang sama. Sementara sebagian peserta lain bahkan belum pernah mendengar apa itu MDGs.

Memang praduga bahwa MDGs adalah ”agenda internasional” yang di-”imposed” kepada daerah sangat wajar muncul mengingat MDGs memang merupakan hasil dari pertemuan para pemimpin dunia menjelang Abad ke-21 atau sering juga disebut Abad Milenium. Dengan melihat masih banyaknya penduduk di muka bumi ini yang hidup di tengah kemiskinan, tidak menikmati pendidikan dan layanan kesehatan serta tinggal di lingkungan yang tidak layak huni, para pemimpin tersebut merasa bahwa upaya-upaya meningkatkan kualitas pembangunan yang telah dilakukan hingga tahun 2000 masih kurang efektif.

Oleh karenanya dicetuskan pendekatan pembangunan yang tidak didominasi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi lebih menekankan pada pembangunan manusia. Agar efektif, pendekatan pembangunan ini kemudian disertai dengan target-target yang jelas, terukur dan terikat waktu (time-bound).

Para pemimpin dunia tersebut selanjutnya menetapkan delapan tujuan utama (goals) yang diuraikan ke dalam 18 target terinci mencakup aspek kemiskinan, pendidikan, gender, kesehatan (termasuk HIV/AIDS yang semakin merebak), keberlanjutan lingkungan serta perbaikan lingkungan permukiman manusia, ditambah dengan komitmen untuk membangun kemitraan (antar-negara maupun antara pemerintah-swasta-warga) agar sumberdaya yang memang tidak tersebar secara merata di muka bumi ini dapat digunakan sebaik-baiknya untuk memastikan tujuan-tujuan mulia tersebut bisa tercapai. Dengan demikian, secara umum diharapkan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrim tidak harus menunggu lebih lama lagi, tetapi dapat terjadi pada generasi sekarang ini.

Namun demikian, komitmen global tersebut tidak akan pernah bisa terwujud jika tidak ada kebijakan dan tindakan yang selaras di tingkat daerah dan komunitas (lokal). Hal ini semakin terasa dengan berlangsungnya gelombang desentralisasi, yang terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan bumi yang lain. Walaupun desentralisasi memiliki tujuan mulia untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan publik kepada warga dan pemangku-kepentingan lainnya, namun dalam kenyataannya fase desentralisasi dan demokrasi yang masih sangat ranum ini banyak ”dibajak” oleh elit lokal untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Jika hal ini dibiarkan, maka MDGs tidak akan tercapai.

Untunglah terdapat daerah-daerah yang secara sungguh-sungguh—tidak hanya dalam kata-kata yang tertuang di dalam rencana pembangunan daerah—telah menjalankan berbagai kebijakan dan tindakan nyata yang ditujukan untuk menghapuskan kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan serta memperbaiki lingkungan alam maupun lingkungan hunian manusia. Hal tersebut selaras dengan Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium walaupun sebagian dari inisiatif positif tersebut tidak secara formal dikaitkan dengan MDGs.

Tindakan-tindakan tersebut umumnya merupakan inisiatif lokal walaupun sebagian ada yang kemudian mendapat dukungan dari pemerintah pusat maupun lembaga internasional.
Untuk menyebutkan sebagian saja inisiatif-inisiatif lokal yang positif tersebut, di bidang pengentasan kemiskinan dapat di lihat pada apa yang sudah dijalankan di Kota Balikpapan, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Deli Serdang, Kota Blitar dan lain-lain. Kota Balikpapan, misalnya, telah menerapkan sebuah filosofi pembangunan ”Sembilan Menggendong Satu” yang artinya adalah tanggung-jawab bersama sembilan puluh persen warga yang termasuk tidak miskin untuk membantu mengentaskan sekitar sepuluh persen penduduk yang masuk dalam kategori miskin. Hal ini kemudian dicerminkan secara konsisten ke dalam penganggaran serta berbagai program-program lain (termasuk beasiswa dan layanan kesehatan gratis bagi kaum miskin).

Di Jembrana, kabupaten yang sebenarnya paling miskin di Propinsi Bali, pemerintah daerah berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran—termasuk secara drastis menggabungkan beberapa sekolah yang utilisasinya rendah—sehingga terdapat ruang anggaran untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nelayan setempat. Dukungan secara khusus kepada komunitas nelayan juga dilakukan di Kabupaten Deli Serdang dan beberapa daerah lain yang memiliki jumlah nelayan secara signifikan. Nelayan seringkali merepresentasi penduduk yang hidup dalam kemiskinan walau telah bekerja sangat keras.

Di bidang pendidikan, contoh inisiatif lokal yang mendukung MDGs dapat dilihat di Kota Tarakan, di mana perhatian pemerintah kota terhadap perbaikan kualitas pendidikan dan sarana pendidikan sangat serius. Kalau di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur yang kaya raya kita bisa melihat kantor pemerintah daerah yang sangat megah, hal ini tidak terlihat di Tarakan. Sebaliknya, kualitas dan kuantitas fasilitas pendidikan serta berbagai fasilitas komunitas dan generasi muda (seperti gelangggang olah raga) mengalami peningkatan yang sangat signifikan di era otonomi daerah. Pun perhatian tidak terbatas pada kualitas fisik. Aspek non-fisik—seperti gaji, pendidikan guru dan lain-lain—mendapat perhatian yang serius. Memang, Tarakan bukanlah satu-satunya daerah yang serius memperhatikan kualitas pendidikan di daerah. Namun, kota pulau ini bisa dijadikan contoh bahwa bila ada kemauan tentu ada jalan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di daerah—bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi.

Di bidang kesehatan, contoh bisa dilihat di Kota Sukabumi, yang telah secara serius mencoba mengatasi persebaran HIV/AIDs serta berbagai penyakit lainnya melalui berbagai program yang ada. Yang menarik dari Kota Sukabumi adalah penekanan yang sudah dilakukan terhadap pembangunan manusia dengan meletakkan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai ujung tobak sasaran pembangunan daerah.

Di satu sisi contoh-contoh di atas memberikan suatu optimisme bahwa jika banyak daerah menjalankan kebijakan dan tindak-nyata yang selaras dengan MDGs—dengan atau tanpa mengkaitkan secara formal dengan MDGs—maka MDGs bisa tercapai. Namun di sisi lain harus disadari bahwa perjalanan masih sangat panjang ke sebuah kondisi di mana daerah dapat mengampu (membuat mampu) keterwujudan komitmen di tingkat nasional atau internasional seperti MDGs ini.

Inisiatif-inisiatif lokal positif yang dicontohkan di atas masih terlalu sedikit untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 350 kabupaten dan kota. Sebagian besar pun masih kesulitan jika menyangkut investasi infrastruktur yang sangat besar. Di sini dukungan dari kemitraan internasional (Tujuan 8) masih sangat ditunggu dan belum berjalan dengan baik. Yang terjadi kemudian, inisiatif-inisiatif tersebut tersebut masih tergantung kepada pemimpin daerah yang berani melakukan terobosan-terobosan positif di tengah kebekuan atau kegamangan birokrasi dalam menghadap perubahan jaman yang begitu cepat. Akibatnya, jika pemimpin kuat dan inovatif tersebut suatu saat harus mundur sebagai bagian dari proses demokrasi, inisiatif-inisiatif positif tersebut masih diragukan keberlanjutannya. Padahal, sebagian besar inisiatif tersebut masih dalam tahap embrionik, sehingga memerlukan kontinuitas selama beberapa tahun mendatang untuk menjadi sebuah kegiatan yang sistemik.

Monday, April 9, 2007

The Case for Closer ASEAN Housing Cooperation

Efforts to strengthen cooperation within the ASEAN region have intensified in the recent years, with more expectedly to follow. In apparent response to the increasingly competitive global regionalization, ASEAN member countries have begun envisioning an ‘ASEAN Community’ by the year 2020. Three main pillars for closer cooperation have been recently developed, namely the Security Community, the Economic Community and the Socio-Cultural Community. Moreover, a ‘roadmap’ for the integration of 11 economic sectors has also been intensively discussed. Despite all of these, however, the issues of housing and possible strengthening of cooperation in achieving housing for all in the ASEAN region have hardly been gotten formal attention.

Often overlooked by public policy makers, housing is actually a critically important aspect in development. The most commonly shared concern in housing is that it is one of the basic needs beside foods and clothes. Other common view of housing is its economic face in the form of property sector, a stimulating sub-sector in the economy that can generate other economic activities such as building material and related service industries. However, housing is more than just property. It also possesses a socio-cultural role in the growth of individuals, families as well as communities. Good housing has been reported to contribute positively to wealth accumulation, health improvement, education enrichment and even strengthening of social cohesion. In other words, those who are lucky enough to live and grow up in decent housing units in good environments tend to have better lives than those who are not. And in the ASEAN region, unfortunately the latter constitutes the majority except in Singapore, Malaysia and Brunei where more people have been able to live in more-than-decent housing units.

Moreover, housing should not only be associated with landed houses because there are many other forms of housing such as apartment units, town-houses, shop-houses and the like. And discussing housing cannot only limit to the physical buildings but should also include the necessary physical as well as economic and socio-cultural environments within which the housing units are situated. This is where the notion of human settlements is often used in lieu of housing. This is also where housing issues become critical aspects in urban planning and environmental management. Some scholars have even gone further to suggest that housing can also be seen as a never-ending process of production and development of humanity.

As indicated, the main problem faced by most ASEAN countries is the inadequacy of housing, both in terms of quantity and quality. This has everything to do with the gap between the rising costs of housing provision and the people’s limited affordability. This also relates to financial mismatch between long-term nature of investments in housing and the mostly short-term sources of money. More than just economic and financial, the problem of housing has also political, social and cultural faces of it. Successful governments have used it as a tool for political supports while others have practically overlooked its importance. While the private sector tends to emphasize houses’ exchange value and ignore their use value – and therefore does not care whether the houses it builds are used or not as long as they are sold – the communities also forget to use their own potentials to work together as was the case in the past. The overall result is a misallocation of scarce resources and a mounting housing backlog.

Indonesia, for example, is facing a housing backlog of more than six million units. Furthermore, many of the existing housing units – both in urban as well as in rural areas – are in unhealthy or unsuitable conditions. And because the number of households needing housing units increases every year, it will take many years of continuous hard works and comprehensive undertaking for even the now-forgotten One-Million Housing Program to achieve the ideal of decent housing for all in Indonesia. The progress of that program was not encouraging with housing industry failing to produce even one-fifth of the target. One of the results has been the proliferation of slums and squatters. To make things more worrying, consistency in housing policy has not been a feature in Indonesin housing development. With the One-Million Housing Program now seems to have been forgotten, the Ministry of Housing has just launched the 1000-tower low-income high-rise housing program.

With backlog reportedly to be in the neighborhood of four million units, the housing situation in the Philippines is not that far different than the one faced by Indonesia. Meanwhile, Thailand has apparently been doing better with some innovative initiatives (the original idea of One-Million Housing Program in Indonesia came about after a visit to Thailand by the then Director General of Human Settlements in mid-2003), although housing problems are certainly not entirely solved. The housing situations in other Mekong River countries – Vietnam, Cambodia, Laos and Myanmar – are generally still less developed with limited supply from the formal private sector, if any. As these latter countries began to develop, industrialize and urbanize, the issues of affordable housing will certainly come into view in the near future.

In the meantime, as also indicated earlier, the housing conditions in Singapore and to some extent Malaysia and Brunei are in much better shapes. Most, if not all, Singaporeans can be considered well-housed, whereas people in Malaysia and Brunei have increasingly been able to afford better housing along with the increase of their economic wealth, the improvement of their public service and progress of their housing industry. For example, Malaysia’s National Mortgage Corporation, the Cagamas Berhad, has been widely reported to function well as a secondary mortgage facility (SMF) and therefore increase the accessibility and affordability of housing to ordinary Malaysians. Indonesia, as a comparison, has so far not been able to develop the same facility, prompting the new Minister of Housing to pledge that the facility’s establishment is his immediate priority.

Looking at such diverse housing conditions in the ASEAN countries, one cannot avoid considering these two following points. The first point is that it will be difficult to imagine a well functioning ‘ASEAN Community’ in the year 2020 if such a wide gap in housing conditions remains or only slightly decreases. If the envisioned ‘ASEAN Community’ lies in a territory where barriers are limited, if not inexistence, people will have the temptation to move from places where living conditions are poor to the better ones. If this happens, population pressures will be on member countries with better living conditions whereas the other members may also face different kind of problems such as brain drain or under-development. While this may be a simplistic illustration, it indeed provides the basis for an argument that it will be difficult to imagine an ‘ASEAN Community’ without seriously considering a much closer and more systematic cooperation in the housing sector.

The second point is more pragmatic and less visionary. It argues that such diverse housing conditions in ASEAN inevitably provide big opportunities for closer cooperation among the players and decision makers in the housing sector that will benefit all stakeholders, with or without the envisioning of an ‘ASEAN Community’ by the year 2020. Indonesia and others may learn about the peculiarities of establishing a secondary mortgage facility from Malaysia, while on the other hand the Malaysian counterpart may expand its area of services. Similarly, Vietnam and others may learn from Indonesia on the good and bad experience of its award-winning but now discontinued Kampung Improvement Program, while others may learn from the Philippines’ ‘Bayanihan’ micro-financing practices that have helped poor people to develop their welfare and afford better housing. Business enterprises in the region’s housing industry can also develop business cooperation among themselves. In such a way, limited resources in the region can be utilized more efficiently and reinventing-the-wheel kind of efforts can be avoided.

The cooperation can and should go beyond sporadic exchanges of knowledge and experience – something that have actually been conducted by the ASEAN Association for Planning and Housing (AAPH), an ASEAN affiliated non-government organization – in the past 25 years of its existence. Other modes of cooperation should be seriously explored and implemented. This can be in the form of more systematic technical assistance, financial aids or supports, joint programs or actions and business alliances. However, such closer forms of cooperation – except the last one – need more continuous interests and consistent supports from the governments of ASEAN member countries as well as from the ASEAN Secretariat. After all, the main role of the governments in the housing sector is not to build the houses but to create an ‘enabling environment’ for the private sector and the community to make decent housing available and affordable for all.

(Wicaksono Sarosa is a former Secretary General of AAPH. The views expressed here are his own)

Tuesday, April 3, 2007

Banjir dan Paradoks Kota Kapitalis

(Also published on Jurnal Nasional 9 February 2007)

Ketika banjir besar menggenangi berbagai bagian di kawasan perkotaan Jabodetabek, banyak yang bilang “banjir sudah menjadi tradisi.” Memang benar hampir setiap tahun kita selalu kedatangan “tamu yang tidak diundang ini” walau tidak sebesar yang kita alami di tahun 2007. Memang benar banjir besar seperti ini juga terjadi di tahun 2002, tapi tidak di tahun 1997, 1992, 1987...dan seterusnya (walau ada pula yang cukup besar di beberapa tahun yang sudah sangat lampau). Memang benar, menurut para ahli hujan besar mempunyai siklus beberapa tahunan.

Namun banjir seharusnya tidak mempunyai siklus dan, lebih penting lagi, seharusnya bukan menjadi tradisi. Banjir umumnya adalah bencana buatan manusia, atau setidaknya merupakan cermin kegagalan manusia untuk mengantisipasi reaksi alam terhadap apa yang dilakukan manusia terhadap permukaan bumi—padahal (tidak seperti tsunami atau gunung meletus) kita dikaruniai pengetahuan teknologi untuk mencegahnya. Namun pengetahuan dan teknologi tersebut serta kemauan untuk menggunakannya dikalahkan oleh apa yang dinamakan sebagai “Paradoks Kota Kapitalis.”

Kota Kapitalis
Terinspirasi oleh bagaimana Frederick Engels mengamati berbagai fenomena sosial-ekonomi-politik yang terjadi di kota-kota di Inggris pada pertengahan abad 19 (ketika kaum pedagang-kapitalis mulai menguasai dan mempengaruhi tata-kelola kota), seorang ahli geografi perkotaan bernama John Rennie Short menguakkan sebuah fenomena kota-kota moderen yang dinamakan “the Paradox of the Capitalist City.” Intinya, istilah ini menunjukkan adanya koeksistensi dua hal yang secara natural bertentangan atau paradoksal: “kota” pada dasarnya adalah sebuah “shared space” atau ruang untuk ditinggali bersama, sedangkan “kapitalisme” merupakan konsep yang mendasari tingkah-laku sosial-ekonomi guna mendapatkan keuntungan individual sebanyak-banyaknya (“individual profits”).

Koeksistensi sebagaimana disebutkan di atas menimbulkan konsekuensi yang tidak kecil. Pertama, akan selalu timbul berbagai ketegangan antara kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan-kepentingan umum. Kepentingan individu tersebut bisa berupa kepentingan korporasi pengembang untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya (misalnya ruang hijau untuk resapan air yang diubah menjadi kumpulan villa dan dapat dijual kepada pribadi-pribadi), namun bisa juga merupakan kepentingan kaum miskin untuk tetap bisa bertahan tinggal di tengah-tengah kota, walau harus tinggal di sepanjang bantaran sungai.

Kedua, jika pemerintah—sebagai satu-satunya yang dapat membuat regulasi publik—berpangku tangan, tidak membuat regulasi yang mengatur berbagai kepentingan atau tidak menegakkan regulasi yang sudah dibuat, entah karena apapun alasannya, maka akan ada pihak-pihak yang terpinggirkan. Mereka yang tidak mampu bersaing dalam membeli rumah atau unit apartemen di tengah kota yang semakin mahal terpaksa harus membeli rumah di kawasan pinggiran. Akibatnya mereka harus menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya untuk transportasi. Kesempatan untuk berkembang secara sosial-ekonomi lebih jauh pun menjadi berkurang.

Ketiga, jika situasi yang sama terjadi, maka ruang publik atau barang-barang yang bersifat publik—seperti ruang terbuka hijau, daerah resapan air, tempat pembuangan sampah atau bahkan drainase—pun akan terabaikan. Ruang terbuka tempat bertemunya anggota komunitas banyak yang kemudian digantikan oleh shopping malls di mana keuntungan yang diambil dari toko-toko yang ada bisa “mensubsidi” ruang terbuka yang tidak sepenuhnya bersifat publik. Daerah resapan air pun “terpaksa” tergusur menjadi kawasan hunian atau komersial yang bisa dijual. Infrastruktur yang seharusnya menjadi tanggong jawab pemerintah kota pun ikut-ikutan terabaikan (walau sebenarnya tidak harus demikian).

Keempat, akibat yang lebih makro adalah pertumbuhan kota yang cenderung sprawling atau melebar ke mana-mana karena memang membeli lahan perdesaan dan mengubahnya untuk fungsi perkotaan jauh yang lebih murah (atau menguntungkan, kalau dilihat dari kacamata korporasi) dibanding membangun ruang kota secara vertikal ke atas yang hemat lahan. Di sini, yang menjadi korban adalah lingkungan alam di sekitar kawasan perkotaan. Kalaupun ada pembangunan vertikal, ini hanya terjadi untuk perkantoran, hotel atau apartemen mahal namun sulit mengharapkan adanya rumah susun murah jika tidak ada subsidi pemerintah.

Kelima, akibat yang juga kurang terlihat adalah terjadinya alokasi yang salah terhadap sumberdaya yang terbatas (misallocation of scarce resources). Dana maupun bahan untuk pembangunan yang secara umum bisa dikatakan terbatas malah digunakan untuk membangun sesuatu yang tidak dihuni (walau ada yang memiliki) sementara ada banyak pihak lain yang sulit mendapatkan bahkan sejengkal ruang kota. Hal ini bisa kita lihat pada banyaknya apartemen-apartemen atau ruang perkantoran yang kosong.

Pemerintah Harus Memimpin
Proses-proses di atas—walau menimbulkan kerugian pada mereka yang terpinggirkan, ruang publik dan lingkungan alam—adalah sangat "wajar" terjadi karena pada dasarnya manusia adalah makhluk ekonomi yang banyak berhitung untung rugi untuk diri sendiri. Namun, jangan lupa, manusia juga adalah makhluk sosial yang harus dan mampu berbuat untuk kepentingan bersama. Toh kalau kepentingan bersama diabaikan, yang rugi juga individu-individu anggota masyarakat (selain kerugian pemerintah). Contoh yang paling nyata adalah banjir besar yang baru kita alami.

Adalah peran pemerintah (pusat maupun kota) untuk secara pro-aktif mengajak masyarakat untuk memikirikan bagaimana melindungi ruang-ruang publik, lingkungan alam di sekitar kita dan bahkan mereka yang terpaksa terpinggirkan oleh proses-proses pertumbuhan kota yang kapitalistik. Di era yang demokratik dan semakin liberal, peran pemerintah memang sudah banyak berkurang. Namun ketika masyarakat madani—yang benar-benar madani dalam arti memiliki modal sosial yang besar sehingga anggotanya tidak hanya memikirkan diri sendiri—belum terwujud, maka kepemimpinan pemerintah yang kuat tetapi berorientasi kepada kepentingan publik (bukan berorientasi kepada kantong pribadi) sangat ditunggu-tunggu. Akan datangkah, seperti yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?